Dari
rahim kehidupan, Manusia disuruh pergi mengembara, menjalani kehidupan ini,
suka tidak suka bukan pilihan. Tugas manusia adalah seperti dikatakan penyair
Sutardji Calzoum Bachri, pergi mengembara dan berjalan pulang, kembali ke rumah
asalnya , tempat roh kehidupan berasal dan ditiupkan, menjemput takdir. Kembali
kepada Maha Pencipta.
Jejak-jejak
sejarah kehidupan itulah puisi. Manusialah yang menulis puisi-puisi itu,
sejarah itu, seberapa kecil dan terkadang nyaris tak terbaca dan tercatat. Kita
semua telah menulis puisi-puisi kita sebagai bahagian dari kehendak mengekpresikan
suasana dan perasaan hati kita, puisi-puisi yang merefleksikan luka sejarah,
duka asal, dan dosa Adam dan Hawa yang melekat pada kita. Dan dalam perjalanan
pengembaraan itulah kita meluapkan ekspresi batin kita, mengaktualisasikan
sikap hidup kita, dan itulah puisi-puisi yang kita tulis tiap saat, tiap waktu,
dan kemudian meninggalkan jejak kepenyairan kita.
Kita
selalu terjebak dalam situasi yang stagnan, ketika berusaha ingin mengungkapkan
luka, duka, dan beban masa lalu dan mimpi masa depan kita, dengan cara-cara
yang lebih kuat dan berkesan. Di antara kita terjadi persaingan yang ketat
dalam proses kreatifitas, aktualisasi dan implementasi gagasan. Kita terjebak
dalam perangkap rutinitas, perangkap copy paste hidup, yang sekan-akan membuat
kita tak bergerak dan tetap seperti yang lalu-lalu juga. Jenuh dan secara
perlahan membunuh kreatifitas. Semacam proses bunuh diri kepenyairan kita.
Kehilangan gairah, dan akhirnya merasa diri hanya sebutir pasir. Sebutir debu,
yang gagal menjemput takdir.
Kita
melupakan sumber utama dari energi puisi-puisi kita, yaitu sejarah. Kita lupa,
tak ada puisi yang ditulis tanpa bersumber dari jejak sejarah. Tanpa bersumber
pada jejak dan riwayat khidupan yang sudah ditulis oleh kita semua. Kita alpa
untuk belajar, membaca dan menyerap makna sejarah yang sudah kita tulis.
Belajar dan menggali esensi dan jejak kehidupan yang sudah kita pahat, dan kita
catat. Kita lupa bahwa sejarah itu adalah sumur inspirasi dan gagasan yang tak
pernah kering dan tidak tertandingi.
Penyair-penyair
besar, adalah penyair-penyair yang belajar memahami sejarah. Hakekat
keberadaannya. Menggali sumur-sumur sejarah, menimba dan minum air sejarah, dan
kemudian membuat sejarah-sejarah baru. Yang lebih besar. Yang lebih bermakna.
Yang lebih membanggakan bagi para pewarisnya dan masa depan kehidupan. Cinta,
memanglah sumber energi batin yang kaya,kuat,dan penuh gairah. Tetapi cinta,
adalah perjalanan batin yang tidak memberikan kita apa-apa yang luar biasa,
kalau di dalamnya tidak ada sejarah kehidupan yang bernilai, yang dapat memberi
kita energi yang baru dan terbarukan, yang bisa kita tinggalkan sebagai warisan
kehidupan yang berguna. Puisi-puisi yang lahir dari cinta yang kering, cinta
yang streotif, cinta yang tidak memberi kita rasa arif , akan menjadi jejak
sejarah yang sia-sia.
Sejarah
adalah masa lalu yang kita tulis dalam puisi-puisi dengan persepsi tentang masa
depan. Tentang harapan dan mimpi-mimpi . Orang yang tidak belajar tentang masa
lalu, takkan meraih masa depan yang lebih cemerlang. Sejarah, adalah tempat
kita belajar tentang kehidupan ini.
Makna
dari luka sejarah yang kita rasakan menggelisahkan kita, duka sejarah yang kita
rasakan pedih dan dosa sejarah yang kita rasakan perihnya, yang
kemudian kita kuburkan perlahan-lahan dalam jejak masa lalu kita. Karena itulah
, puisi takkan pernah tercabut dari akarnya, karena sejarah akan terus terjadi,
terus dituliskan oleh para penyair sebagai puisi-puisi mereka, puisi besar,
atau puisi-puisi seadanya. Puisi itu adalah nafas kehidupan kita.
Bahasa
adalah jati diri penyair. Penyair yang kehilangan bahasanya,akan kehilangan
jati dirinya. Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah
memelihara, memperkaya, dan mempertahankan sejarah kebahasaannya, menulis
puisi-puisi besar yang akan memperkaya bahasanya sebagai bahasa yang besar juga
.Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya.
Bahasa
yang merdeka, yang bebas, adalah tanah air bagi penyair yang selalu memberi
inspirasi, yang memiliki gairah yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik
batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, yang terus mengajaknya untuk
menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk
proses kreatifitas dalam menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi,
karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. Menulis puisi itu adalah
menulis metafor, menuangkan imajinasi.
Jejak
langkah yang kita tinggalkan dalam pengembaraan kita bersama bahasa itu ,
adalah sejarah literasi, yang kelak akan jadi warisan kehidupan, para anak cucu
Adam, penerus kita. Jejak itu, sekecil apapun wujudnya,akan menjadi bahagian
dari tradisi kepenyairan kita, dan hanya tradisilah yang membuat ingatan
tentang jati diri seorang penyair, akan selalu ada. Tradisi mewariskan
puisi-puisi dan kepenyairan yang bersejarah. Maka para penyair, belajarlah dari
sejarah, dan buatlah sejarah. Sejarah yang besar.
mantab ito :)
ReplyDelete