Tuesday, December 20, 2016

OPINI : Puisi Sebagai Esensi dari Sejarah Kehidupan



Dari rahim kehidupan, Manusia disuruh pergi mengembara, menjalani kehidupan ini, suka tidak suka bukan pilihan. Tugas manusia adalah seperti dikatakan penyair Sutardji Calzoum Bachri, pergi mengembara dan berjalan pulang, kembali ke rumah asalnya , tempat roh kehidupan berasal dan ditiupkan, menjemput takdir. Kembali kepada Maha Pencipta.

Jejak-jejak sejarah kehidupan itulah puisi. Manusialah yang menulis puisi-puisi itu, sejarah itu, seberapa kecil dan terkadang nyaris tak terbaca dan tercatat. Kita semua telah menulis puisi-puisi kita sebagai bahagian dari kehendak mengekpresikan suasana dan perasaan hati kita, puisi-puisi yang merefleksikan luka sejarah, duka asal, dan dosa Adam dan Hawa yang melekat pada kita. Dan dalam perjalanan pengembaraan itulah kita meluapkan ekspresi batin kita, mengaktualisasikan sikap hidup kita, dan itulah puisi-puisi yang kita tulis tiap saat, tiap waktu, dan kemudian meninggalkan jejak kepenyairan kita.

Kita selalu terjebak dalam situasi yang stagnan, ketika berusaha ingin mengungkapkan luka, duka, dan beban masa lalu dan mimpi masa depan kita, dengan cara-cara yang lebih kuat dan berkesan. Di antara kita terjadi persaingan yang ketat dalam proses kreatifitas, aktualisasi dan implementasi gagasan. Kita terjebak dalam perangkap rutinitas, perangkap copy paste hidup, yang sekan-akan membuat kita tak bergerak dan tetap seperti yang lalu-lalu juga. Jenuh dan secara perlahan membunuh kreatifitas. Semacam proses bunuh diri kepenyairan kita. Kehilangan gairah, dan akhirnya merasa diri hanya sebutir pasir. Sebutir debu, yang gagal menjemput takdir.

Kita melupakan sumber utama dari energi puisi-puisi kita, yaitu sejarah. Kita lupa, tak ada puisi yang ditulis tanpa bersumber dari jejak sejarah. Tanpa bersumber pada jejak dan riwayat khidupan yang sudah ditulis oleh kita semua. Kita alpa untuk belajar, membaca dan menyerap makna sejarah yang sudah kita tulis. Belajar dan menggali esensi dan jejak kehidupan yang sudah kita pahat, dan kita catat. Kita lupa bahwa sejarah itu adalah sumur inspirasi dan gagasan yang tak pernah kering dan tidak tertandingi.
Penyair-penyair besar, adalah penyair-penyair yang belajar memahami sejarah. Hakekat keberadaannya. Menggali sumur-sumur sejarah, menimba dan minum air sejarah, dan kemudian membuat sejarah-sejarah baru. Yang lebih besar. Yang lebih bermakna. Yang lebih membanggakan bagi para pewarisnya dan masa depan kehidupan. Cinta, memanglah sumber energi batin yang kaya,kuat,dan penuh gairah. Tetapi cinta, adalah perjalanan batin yang tidak memberikan kita apa-apa yang luar biasa, kalau di dalamnya tidak ada sejarah kehidupan yang bernilai, yang dapat memberi kita energi yang baru dan terbarukan, yang bisa kita tinggalkan sebagai warisan kehidupan yang berguna. Puisi-puisi yang lahir dari cinta yang kering, cinta yang streotif, cinta yang tidak memberi kita rasa arif , akan menjadi jejak sejarah yang sia-sia.

Sejarah adalah masa lalu yang kita tulis dalam puisi-puisi dengan persepsi tentang masa depan. Tentang harapan dan mimpi-mimpi . Orang yang tidak belajar tentang masa lalu, takkan meraih masa depan yang lebih cemerlang. Sejarah, adalah tempat kita belajar tentang kehidupan ini.
Makna dari luka sejarah yang kita rasakan menggelisahkan kita, duka sejarah yang kita rasakan pedih dan dosa sejarah yang kita rasakan perihnya, yang kemudian kita kuburkan perlahan-lahan dalam jejak masa lalu kita. Karena itulah , puisi takkan pernah tercabut dari akarnya, karena sejarah akan terus terjadi, terus dituliskan oleh para penyair sebagai puisi-puisi mereka, puisi besar, atau puisi-puisi seadanya. Puisi itu adalah nafas kehidupan kita.
Bahasa adalah jati diri penyair. Penyair yang kehilangan bahasanya,akan kehilangan jati dirinya. Karena itu pula, salah satu tugas penting seorang penyair adalah memelihara, memperkaya, dan mempertahankan sejarah kebahasaannya, menulis puisi-puisi besar yang akan memperkaya bahasanya sebagai bahasa yang besar juga .Karena itu adalah perjuangan menegakkan jati dirinya.


Bahasa yang merdeka, yang bebas, adalah tanah air bagi penyair yang selalu memberi inspirasi, yang memiliki gairah yang seakan tak pernah diam, terus menggelitik batin penyair untuk terus meluapkan ekspresi, yang terus mengajaknya untuk menggali mencari inti esensinya. Bahasa yang demikian sangat diperlukan untuk proses kreatifitas dalam menghasilkan karya-karya sastra, terutama puisi, karena bahasa yang merdeka itu sangat imajinatif. Menulis puisi itu adalah menulis metafor, menuangkan imajinasi.
Jejak langkah yang kita tinggalkan dalam pengembaraan kita bersama bahasa itu , adalah sejarah literasi, yang kelak akan jadi warisan kehidupan, para anak cucu Adam, penerus kita. Jejak itu, sekecil apapun wujudnya,akan menjadi bahagian dari tradisi kepenyairan kita, dan hanya tradisilah yang membuat ingatan tentang jati diri seorang penyair, akan selalu ada. Tradisi mewariskan puisi-puisi dan kepenyairan yang bersejarah. Maka para penyair, belajarlah dari sejarah, dan buatlah sejarah. Sejarah yang besar.
 

Sunday, December 18, 2016

News : Organisasi Baru Telah Berdiri Di Siantar



The Next Generation Of Ekklesia

 
            Mengenal persekutuan baru yang bercorak feminisme ini adalah suatu hal yang sangat sayang untuk dilewatkan. Mengapa penulis menyatakan feminisme? Alasannya adalah perempuan-perempuan dalam organisasi ini adalah perempuan-perempuan yang bertalenta dan perkasa dengan semangatnya. Mengenai sejarah berdiri, usia persekutuan yang biasa disebut “DNG of  Ekklesia” masih terhitung kurang lebih 8 bulan yaitu sejak april 2016.
            Berbicara tentang organisasi, tentunya organisasi pasti memiliki ketua dan struktur pembagian tugas masing-masing. Saat ini, Sebagai ketua adalah Hans Purba yang notabene adalah mahasiswa USI (Universitas Simalungun). DNG adalah persekutuan dan anggotanya adalah gabungan dari beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Pematangsiantar, diantaranya mahasiswa STT HKBP, Univ. HKBP Nomensen, Universitas Simalungun dll.


            Sebagai “Organisasi” yang baru terlahir dan tentu memiliki visi dan misi ke depannya terlebih dalam gereja dan dunia mahasiswa, tentunya DNG of Ekklesia membutuhkan banyak pembelajaran dan inspirasi baru dalam proses pergerakannya dan juga tidak mengabaikan bahwa sebagaimana bayi baru lahir, perkumpulan ini masih rawan akan badai penyakit dan perlu penguatan untuk tetap berdiri.
            Secara rutin, setiap selasa malam selalu diadakan kebaktian bersama di kos-kosan setiap anggota secara bergantian, lalu sesi-sesi diskusi santai pun diadakan dalam pertemuan-pertemuan yang disepakati bersama. Diskusi tersebut membahas hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu mahasiswa masa kini, baik itu pola pikir, dinamika perkuliahan dll.








            10 Desember 2016, DNG of Ekklesia mengadakan Acara Natal bertajuk “Aksi berbagi Kasih” Bersama panti asuhan GKPI Mamre sebagai wujud Implementasi dan aksi nyata dari pernyataan Mengenai Natal yang bernilai dan bermakna, bukan sebatas formalitas, material dan seremonial semata. Ide-ide yang lahir dari diskusi-diskusi dan bertukar pikiran. Acara Natal tersebut berjalan dengan sukses dan meriah, meskipun dana terbatas dan pas-pasan akan tetapi kolaborasi anak-anak yang ceria dan mahasiswa-mahasiswi mengisi liturgi ibadah yang syahdu. Hasil bumi sidamanik berupa beras, pisang, semangka dll serta kado-kado yang dibungkus dengan kertas koran menjadi karya Tuhan bagi mereka dalam Natal Tersebut. Tidak lupa juga mahasiswa Pertanian USI yang secara Khusus menyampaikan perlengkapan Olahraga sebagai bentuk kado Natal kepada Adik-adik di Mamre.

            DNG of Ekklesia di usianya yang masih hitungan bulan, telah melaksanakan kegiatan yang menginspirasi dalam perayaan Natal dimana pada masa kini perayaan Natal telah mulai mengalami pergeseran makna sedikit demi sedikit apalagi dalam perayaan Natal pemuda-pemudi yang cenderung menekankan sifat-sifat duniawi daripada menguduskan gereja itu sendiri, bahkan gereja pun dikotori oleh kebutuhan konsumsi dan formalitas ibadah yang menegaskan bahwa hiburan lah yang jadi fokusnya. Natal modern dengan nuansa irama konser dan nilai-nilai hedonisme dunia barat mulai merambah dan mewabah, itu sebabnya DNG of Ekklesia membuat Upaya kecil dalam bentuk Natal bersama dengan Anak-anak Panti Asuhan GKPI Mamre dengan harapan semoga dapat menginspirasi banyak orang dan Natal menjadi lebih bermakna di masa-masa yang Akan Datang.


            DNG of Ekklesia akan melanjutkan karya dalam bentuk seperti kunjungan Gereja pada tahun 2017 mendatang. Masih banyak misi yang akan dijalankan dan pastinya semangat akan selalu penuh demi kemuliaan Tuhan, kedepannya DNG juga harus mempersiapkan regenerasi-regenerasi nya untuk melanjutkan misi dan pengharapan yang akan jalin menjalin hingga hari-hari di masa depan. Seperti yang di katakan oleh penulis
Kita Generasi, Kita Sehati, Kita Berbakti
Bagi Kristus, Untuk Gereja, Kita Setia dan Berkarya
Kitalah D”Next Generation Of Ekklesia.
Chairil Sastra

Saturday, December 17, 2016

Cerpen : Kasih Belum Sampai



Belum tersampaikan
(Oleh : Hotjunadi Simanjuntak)

Aku belum menyatakan perasaan kepada seorang Perempuan. Perasaan yang selama ini melekat erat di hati kecilku, perasaan yang selama ini terus menghantui apabila aku melihat atau berjumpa dengannya.
Awalnya, aku sama sekali tidak meyakini hal ini akan terjadi.Dimana aku pertama kali bertemu denganya,karena aku satu kelas denganya pada saat penerimaan siswa baru disekolah. Nasib yang malang untuk satu kelas denganya.
Aku menyukainya bukan karena kecantikan yang dia miliki,melainkan sosoknya yang terus aku ikuti sejak pertama kali melihatnya. Sampai Aku begitu mencintai sosok itu, sehingga sangat wajar jika aku memiliki rasa takut untuk kehilangan-Nya.
Aku takut kehilangan dia! Di fikiranku kini hanya dia! Tidak ada yang lain, aku kini menginginkan di suatu hari nanti aku bisa memilikinya dengan kebahagiaan. Aku ingin itu terjadi!!!
Seiringnya waktu berlalu,kalau dikelas berlangsung pelajaran aku pasti memandangnya kalau tidak memikirkanya. Begitupun kalau di aktivitasku di luar sekolah,aku selalu teringat pada dirinya. Sehinga aku tak pernah malas untuk ke sekolah,hanya untuk melihatnya .
Pada suatu hari dikelas pada saat pelajaran matematika,aku terus memandanginya. Tiba-tiba dia memandangku dengan mata indahnya,dan tanpa sadar aku terus melihat mata indahnya. Akhirnya dia pun memfokuskan pandanganya pada papan tulis yang penuh tulisan guru,seolah-olah dia tak memandangku dan aku pun seperti itu.
Hari demi hari,aku pun tak berani untuk berbicara dengannya. Hingga dia merasa tak nyaman,karena bisa di bilang akulah orang yang tak pernah mencakapinya dalam kelas. Karena ketidaknyamanannya dia pun bertanya padaku,”jun,mengapa kau tak mau mencakapi ku,padahal aku tak pernah buat masalah dengan mu?”. Aku tak menjawab pertanyaan itu,aku langsung menjauh dari nya. Dan aku yakin,dia pasti sudah mengetahui perasaanku terhadapnya karena rata-rata teman sekelasku sudah mengetahui bagaimana aku terhadapnya.
[…….]
3 tahun kemudian,aku menginjak kelas  XII dimana aku tak lagi satu kelas denganya. Walau pun begitu aku tetap seperti  yang dulu atau waktu kelas satu terhadap nya. Walaupun dalam 3 tahun itu banyak godaan yang datang padaku untuk melupakannya,tetapi pikiranku dan hatiku hanya dia.
 Akan tetapi entah kenapa aku belum berani mengungkapkan apa isi hatiku terhadapnya ????
Aku ingin nyatakan cinta untuk nya……
Rinduku hanyalah padanya ……

end


            

Motivasi : Luka sebagai Jembatan Goyah Menuntun Langkah yang Seimbang




Luka-luka yang membekas di pohon karet, dan lobang-lobang garapan getah yang terukir pada pohon kemenyan adalah bukti dari penderitaan mahluk hidup, yang mengorbankan hidupnya untuk manusia yang juga membutuhkan kehidupan generasinya. Lalu apa yang pohon itu dapatkan dari manusia? Memberi tanpa mendamba hasilnya kembali. Rasa sakit yang berulang dirasakannya dari benda tajam buatan manusia mengorek-ngorek getahnya, aliran hidup baginya, ibarat darah bagi manusia.
Luka-luka itu terpampang jelas, seumur hidup pohon tersebut. Menjadi sebuah kenangan meskipun selalu berusaha menyembuhkan dirinya. Akan tetapi, luka itu tidaklah bisa berbohong dan akan menjadi bentuknya sampai getahnya habis. Sampai pohon itu tidak lagi menghasilkan getah. Tua tidak berguna, ditebang lalu dibakar. Musnah terabaikan. Diamnya adalah sebuah kepasrahan akan manusia yang berkuasa atasnya.
Demikian juga, pada kehidupan ini. Luka adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dalam sebuah proses pencapaian kedewasaan dan sebuah model pembentukan diri dalam menyikapi kehidupan dan menciptakan pola pikir tersendiri. Adakalanya manusia menyerah dalam proses yang menjadi bagian hidupnya. Adakalanya juga seseorang menjadi pribadi yang unggul karena mampu mengarungi badai dalam perjalanan hidupnya dan terlahir baru sebagai seorang pemenang.
Tetapi satu yang hakiki, bahwa luka yang dia alami adalah menjadi bekas-bekas di guratan wajahnya dan suratan tangannya, yang tidak akan pernah sembuh seutuhnya, yang tidak akan pernah pulih secara totalitas meskipun waktu ikut berperan dalam proses pemulihan itu, akan selalu ada berkas yang tertinggal sebagai bahan perenungan ataupun bahan untuk disesali.
Manusia memahami arti kebahagiaan setelah merasakan bagaimana derita itu dalam hidupnya, manusia menghargai sesuatu setelah ia sadar bahwa banyak juga ia telah kehilangan. Manusia memahami kebersamaan setelah tahu betapa hampanya hidup dalam keegoisannya. Penyesalan, kesalahan memberi dampak yang besar sebagai pembelajaran untuk membentuk diri. Luka yang tergores pada pohon getah, tak selamanya perlambang kesedihan ataupun kerugian akan tetapi pengorbanan untuk sesuatu yang lebih besar. Tidak ada yang sia-sia.
Cinta adalah modal yang mendasar dari jiwa manusia yang paling primitif. cinta menghasilkan hasrat, nafsu dan keinginan yang kuat untuk memiliki sesuatu. Melahirkan sebuah ambisi yang besar dan juga harapan. Hanya proses perjalanan kehidupan manusia itu, sehingga melalui pasang surut badai dan gelombang yang telah dilalui akan menentukan cinta seperti apa yang dia miliki sebagai manusia. Kisah Adam dan Hawa mengawali bagaimana manusia mengenal cinta dan bagaimana manusia membutuhkan pendamping dalam menghadapi hidup.
Ibarat dua mata koin yang tidak terpisahkan demikian juga dua sisi hidup yang saling berlawanan tetapi juga bertautan satu dengan yang lain. Hidup dan mati, suka dan duka, kecil dan besar, indah dan buruk, terang dan gelap. Hal-hal tersebut saling memberi sinergis keseimbangan dan Harmonisasi alam yang tidak terbantah.kehidupan menawarkan banyak pilihan dalam satu jalan lurus. Bahkan ketika kau mencintai seseorang, akan ada airmata disana, serta juga kebahagiaan yang mahal, yang terlalu berat untuk terpisah jikapun waktu akhirnya ikut memisahkan.
Luka mampu membunuh seseorang karena tidak sanggup menghadapi konflik sehingga mencari pelarian dalam hidupnya. Tetapi luka juga sekaligus memberi dampak yang besar dalam pertumbuhan mentalitas sehingga keunggulan hanyalah mereka yang mampu mengatasi luka hidupnya, mengatasi mentalnya dan terlahir kembali sebagai seorang pemenang sejati.
Luka tidak akan pernah sembuh seutuhnya, tetapi biarlah langit bersama dengan waktu yang menentukannya. Pada akhirnya, ingatan tidak pernah setia, sedikit demi sedikit hujan dan musim pun mampu menghapus bagian-bagian terpahit. Jangan memandang Luka sebatas Rasa Sakit, akan tetapi Kenalilah Luka sebagai Proses untuk memperbaiki hidup, layaknya game puzzle yang harus di acak ratusan susunan yang harus kita perbaiki menjadi suatu lukisan mozaik yang indah.
Chairil Sastra