Wednesday, June 17, 2020

JURNAL THEOLOGIA : DOSA WARISAN



I. PENDAHULUAN
Gereja-gereja menetapkan berbagai ajaran tentang dosa. Ajaran-ajaran itu meliputi sumber-sumber dosa, hal-hal yang merupakan perbuatan dosa, dan akibat (konsekwensi) dari melakukan dosa. Tujuannya ialah untuk mengingatkan umat agar selalu berusaha menghindarkan diri dari melakukan perbuatan dosa. Gambaran yang pertama kali diberikan sebagai akibat jika umat melakukan perbuatan dosa ialah hukuman Allah. Pengajaran yang cenderung bersifat kaku dan terkesan angker tentang dosa sering menyebabkan masalah yang lain muncul dalam kehidupan umat. Kemalangan, penderitaan, dan penyakit dalam kehidupan manusia dipandang sebagai ‘buah dari dosa’. Namun yang menjadi masalah di sini dosa yang dimaksud bukan hanya terikat kepada dosa karena perbuatan, tetapi juga karena dosa warisan (dosa asali).
Dosa warisan dipahami sebagai dosa yang telah diwariskan secara turun-temurun di dalam kehidupan umat manusia. Itulah yang menjadi penyebab dari seluruh permasalahan yang ada di dunia ini. Bahkan sudah dianggap sebagai takdir manusia sejak dilahirkan. Oleh karena itu, penting dilakukan upaya pengkajian dogmatis yang murni berlandaskan Alkitab untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang hal tersebut.

II. ETIMOLOGI
  1. Dosa Berdasarkan Alkitab
Kata ‘dosa’ dalam Perjanjian Lama berasal dari kata Ibrani khatta’t dan ‘awom.  Kata khatta’t merupakan kata kerja yang artinya menghilangkan atau tidak mengikuti jalur. Kata ‘awom merupakan kata benda maskulin yang artinya perbuatan salah atau ketidaksusilaan (Mzm. 51:6).
Perjanjian Baru secara umum menggunakan kata hamartia[1] dan parabasis[2] untuk menyebutkan istilah dosa. Kata hamartia sebagai kata benda maskulin yang artinya perbuatan alami (sifatnya alamiah). Kata ini berfungsi untuk jenis perbuatan-perbuatan di luar ketidakbenaran yang sifatnya alami. Orang yang melakukannya pun masih bisa diampuni (hamartolos). Kata ini juga digunakan untuk tindakan-tindakan kejahatan yang sederhana, tidak terlalu berat (Luk. 15:18, 21). Kata parabasis diartikan sebagai tindakan perlawanan terhadap hukum Allah. Hukum Allah yang dimaksud ialah Hukum Taurat (Luk. 6:4; Rom. 2:23, 25, 27). Perbuatan ini tentunya kejahatan yang sangat berat dibandingkan dengan arti kata sebelumnya. Kata parabasis pada umumnya ditemukan dalam surat Galatia dan Roma.[3]  Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menjelaskan bahwa dosa sebelumnya sudah ada, tepatnya sebelum Hukum Taurat ada (Rom. 5:13f). Hal itu dimaksudkan bahwa Paulus ingin menjelaskan pembedaan antara kata parabasis kata hamartia dalam ajarannya tentang sejarah keselamatan.
Dengan demikian, dosa dapat diartikan sebagai perbuatan-perbuatan kegagalan, kekeliruan, kesalahan, pelanggaran, kelaliman, ketidakadilan, dan perbuatan yang tidak menaati hukum oleh manusia terhadap Allah (1 Yoh. 3:4).[4]

  1. Pengertian Dosa Warisan (Asali)
Istilah ‘dosa warisan’ disebut juga sebagai ‘dosa asali’. Tidak ada kata ‘dosa asali (warisan)’ ditemukan secara hurufiah di dalam Alkitab. Namun, secara umum berdasarkan Alkitab, dosa asali dipahami sebagai akibat dosa pertama yang diwarisi dari orangtua. Dosa yang dilakukan manusia pertama – Adam – yang telah menyebabkan semua manusia menjadi berdosa sejak dilahirkan (Rom. 5:12).  Dalam daftar Indeks Dogma Kristen, ‘dosa asali’ diartikan sebagai kondisi alami manusia sejak lahir.[5]


III. DESKRIPSI
A.    Doktrn tentang Dosa secara Biblika
1.      Kejatuhan Manusia Pertama: Sumber  Dosa (Kej. 3)
TUHAN Allah menempatkan manusia pertama – Adam – di Taman Eden agar dia memelihara dan mengelola taman itu (Kej. 2:15). Allah memberi perintah yang harus mereka patuhi, jika tidak, maka akan ada konsekwensinya. Perintah Allah melalui Firman-Nya kepada Adam meliputi anjuran dan larangan. Terdapat unsur hukum di dalam perintah Allah yang tentunya memiliki konsekwensi, yakni hukuman.
Berdasarkan kisah dalam Alkitab, manusia dilarang oleh Allah untuk memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Jika mereka melanggarnya, maka akibatnya adalah mereka akan ‘mati’ (Kej. 3:3). Manusia pertama, dalam pertemuannya dengan Iblis di Taman Eden yang datang dalam rupa ular, pada akhirnya menyebabkannya keluar dari jalur perintah Allah. Karena itu, manusia disebutkan telah melanggar perintah Allah. Hal tersebut membawa manusia masuk ke dalam situasi dan kondisi yang baru, yaitu ‘berdosa’.  Maksudnya ialah kondisi manusia sebelumnya ialah kondisi yang tanpa dosa dan memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Setelah peristiwa kejatuhan, rentetan masalah dihadapi manusia pertama (kelompok manusia pertama).
Tahap pertama bukti kerusakan hubungan manusia dimulai dari pengusiran dari Taman Eden. Manusia kehilangan hak untuk hidup damai dan sejahtera. Mereka harus mengusahakan dengan jerih payahnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penderitaan, kesakitan, bahkan kematian menjadi bagian dari hidup manusia, dan setiap manusia harus mengalaminya. Tahapan berikutnya sebagai kelanjutan dari perbuatan dosa ialah peristiwa pembunuhan bersaudara oleh Kain terhadap Habel, kemudian kisah penghukuman dengan air bah pada zaman Nuh, peristiwa menara Babel, dan kisah-kisah perjalanan sejarah umat Israel. Demikianlah semua kisah tersebut dipaparkan di dalam Alkitab untuk menggambarkan bagaimana dosa melalui perbuatan anak-anak manusia mengalami kontinuitas (Rom. 5:14).



2.      Dosa dan Kehendak Bebas Manusia: Pencobaan
Sumber Alkitab dari Kejadian 3:1-6 memberikan gambaran mengenai proses kehidupan yang dialami manusia pertama. Dengan ramuan kisah narasi yang menyerupai dongeng atau cerita rakyat, di dalamnya diceritakan bahwa manusia sebelum berdosa telah terlebih dulu mengalami pencobaan. Melalui seekor ular, Iblis dikisahkan menggoda manusia agar melanggar perintah Allah.
Perintah Allah yang berisfat melarang justru dipakai oleh Iblis untuk meyakinkan manusia dalam menggunakan keinginannya / kehendaknya. Manusia diyakinkan bahwa Allah tidak memihak kepada manusia dengan memberikan perintah-Nya, maksudnya ialah Allah itu egois terhadap manusia. Perempuan mencurigai Allah, maka wibawa larangan pun hilang.[6] Maka timbullah keinginan manusia untuk mengambil buah pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu. Disorong oleh kehendak / keinginan sendiri, akhirnya secar aktif manusia mengambil dan menikmati buah tersebut. Perempuan (Hawa) mengambil buah itu karena Ia mencita-citakan otonomi (autos = sendiri, dan nomos = hukum) untuk menentukan sendiri hal-hal apa yang baik dan apa yang jahat. Manusia tidak mau hidupnya dibatasi dari luar (dirinya) oleh perintah Allah.[7]
Bukannya Allah tidak mampu melakukan pengawasan ketat terhadap pohon itu. Apa yang menjadi kehendak Allah ialah tidak lebih dari apa yang disebut ketaatan manusia. Secara tradisional dikatakan bahwa Allah memberi perintah adalah untuk menguji apakah manusia sungguh-sungguh mendengar dan paruh kepada perintah-Nya. Tetapi manusia justru melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa.[8] Gagasan ini merupakan dasar yang disampaikan oleh teolog Perjanjian Lama. Cristoph Barth untuk menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia bukan sebagai mesin (robot) yang diprogram seratus persen agar patuh kepada Allah. Allah dalam kemurahan-Nya telah menganugerahkan ‘kehendak bebas’ kepada setiap manusia agar terjadi interaksi dan relasi yang harmoni dengan manusia. Jadi, pengalaman pencobaan pertama terhadap manusia dalam kaitannya dengan kehendak bebas manusia, ternyata manusia bingung dalam menggunakan kehendak bebasnya. Manusia selalu mengalami ambiguitas dalam memahami dan mematuhi perintah Allah. Perintah Allah diyakini sebagai hal yang baik dan kehendak Iblis ialah hal yang jahat. Dalam Kejadian 4:7 dinyatakan bahwa manusia berkuasa atas keinginan mengikuti hasrat hati. Demikianlah profil seperti Nuh dikisahkan sedemikian rupa untuk menegaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan manusia dapat bertahan dalam keadaan tidak bercela, dengan hidup dan benar di antara orang sezamannya (Kej. 6:9)

3.      Akibat Dosa: Hukuman Allah
Ø  Arti Hukuman
Hukuman berarti siksa, kesakitan, kerugian, dan sejenisnya yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar hukum / undang-undang.[9] Allah mendatangkan hukuman sebagai konsekuensi dai perbuatan dosa bertujuan untuk mempertahankan keadilan-Nya karena Allah adalah sumber atau pemberi keadilan (Mzm. 24:5; 58:12).
Hukuman yang disebut juga sebagai sanksi pelanggaran tidak hanya sebatas untuk membuat jera, tetapi juga merupakan proses rekonsiliasi antara Pemberi Hukum (Allah) dengan yang menerima hukum (manusia). Dalam sejarah perjalanan umat Israel, Allah memberikan Hukum Taurat kepada umat-Nya melalui perantaraan hamba-Nya, Musa. Ketika umat jatuh ke dalam penyembahan berhala dan menyimpang dari Hukum Taurat, Allah menghukum mereka. Setelah melalui proses penghukuman, umat Allah berseru memohon pertolongan kepada Allah. Maka dengan kasih setia-Nya, Allah datang menyelamatkan mereka karna Dialah Penyelamat Israel (I Taw. 16:35).   

Ø  Universalitas Dosa: Kenapa harus Diturunkan (Diwariskan)?
TUHAN Allah telah menjadikan manusia sebagai kesatuan yang hidup (organis). Hal ini berkaitan dengan faktor biologis dan genetis manusia dimana manusia bertumbuh satu dari yang lain, dari generasi ke generasi. Tujuannya ialah agar sifat Ilahi dapat hadir juga di dalam kesatuan yang hidup dengan manusia. Dengan demikian, kesatuan itu dapat  memuliakan Allah. Namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa, kesatuan ini menjadi kesatuan di dalam dosa.  
Dosa menghasilkan konsekuensi, yakni hukuman Allah. Sebagaimana yang dicatat di dalam Alkitab, bahwa Allah adalah ‘Kudus’ adanya (Ul. 32:51). Hukuman dapat digambarkan sebagai reaksi dari eksistensi Allah sebagai ‘Yang Kudus’ terhadap dosa (yang tidak kudus) sehingga menyebabkan murka Allah (Rom. 1:18). Hasilnya adalah hukuman Allah atas setiap umat manusia yang berdosa. Hukuman yang dimaksud ialah kematian. Hukuman ini berlaku kepada seluruh manusia dari masa ke masa, “Maut telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Roma 5:12).

B.     Pembahasan Dosa Asali dalam Perkembangan Sejarah Iman
1.   Pandangan Tradisional (Gereja Mula-Mula)
Pemahaman fundamental mengenai dosa terdiri dari empat bagian besar tahapan.[10] Tahapan yang pertama ialah peristiwa penciptaan Allah. Allah menciptakan manusia yang sempurna dan menempatkannya di Taman Eden. Sebagai ciptaan tentunya manusia berbeda dengan Penciptanya, yaitu Allah. Karena itu manusia telah memiliki hakikat alamiah, yakni sebagai makhluk yang fana. Tahapan kedua, manusia menjadi berdosa (jatuh ke dalam dosa). Melalui peristiwa ini, Adam, manusia pertama itu telah menyalahgunakan kehendak bebasnya dengan melanggar perintah Allah. Pada tahapan ketiga, kehancuran manusia digambarkan sebagai akibat dari perbuatan dosa Adam. Dalam keberdosaannya, umat manusia cenderung meniru tabiat Adam dan melakukan tindakan-tindakan yang diwarisinya. Salah satunya mengalami penyesatan di dalam pengaplikasian kehendak / keinginan mereka. Dan yang keempat ialah uamt manusia secara turun-temurun lebih condong terhadap tabiat-tabiat yang didominasi dosa. Dosa juga telah merasuk kepada relasi solidaritas manusia sehingga manusia tidak akan pernah terhindar dari berbuat dosa.
Demikianlah menurut pandangan tradisional bahwa dosa warisan (asali) adalah diwariskan oleh Adam yang telah berdosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah. Selajutnya dosa tersebut menguasai seluruh umat manusia karena mereka adalah keturunan Adam.

2.   Penafsiran Agama Yahudi (Pandangan Rabi)
Penafsiran para rabi Yahudi tentang kejatuhan manusia, pada kenyataanya tidak ditemukan dalam kitab Perjanjian Lama.  Meskipun demikian, diskusi-diskusi mengenainya masih dapat dijadikan sebagai bahan acuan. Dimulai dari keputusan Allah yang mengusir Adam dan Hawa dari Taman Eden setelah melakukan pelanggaran, sebagai indikator mengapa anak-anak manusia berdosa. Ketidaktaatan Adam kemudian telah menyebabkan kematian terhadap seluruh umat manusia.
Konsep tentang dosa dalam Yudaisme ditetapkan berdasarkan hukum (nomos). Pelanggaran setiap orang terhadap Torah disebut perbuatan dosa, karena Torah adalah pernyataan kehendak Allah. Yudaisme juga memakai gagasan dalam Perjanjian Lama tentang dosa sebagai suatu tindakan penghinaan terhadap Allah sehingga mereka membuatnya sebagai suatu elemen undang-undang / hukum dalam kehidupan sehari-harinya. Mereka juga mengakui bahwa semua manusia telah memberontak melawan Allah sehingga semua manusia telah berdosa.
Dalam penyusunan konsep tentang konsekuensi dosa di dalam ajaran Yahudi, terdapat dua bagian yang tampaknya bertentangan, yaitu: (1) merendahkan status, yaitu terhadap orang-orang yang melalaikan peraturan agama dan melakukan ajaran agama dengan cara yang tidak lazim. Mereke adalah orang-orang yang menentang Hukum Taurat dan karena itulah mereka berdosa sehingga statusnya menjadi lebih rendah. (2) Mengadakan pemisahan, yaitu gagasan yang diperoleh dari Perjanjian Lama tentang pemisahan antara dosa karena keangkuhan dan dosa karena kebodohan. Oleh karena itu, patokan dari kadar perbuatan dosa adalah tergantung kepada pengetahuan seseorang akan Hukum Taurat.
Ada unsur yang disebut sebagai ‘yetser hara’ yaitu sebagai unsur yang terdapat pada diri Adam sejak masa penciptaan. [11] Unsur itulah yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan dosa pertama kalinya. Unsur tersebut bersifat lebih condong kepada kejahatan. Seperti yang dikutip oleh Linwood Urban terhadap pernyataan kitab 2 Esdras (4 Ezra) disebutkan bahwa kepada manusia, Allah telah memberikan perintah. Kemudian perintah itu dilanggar dan akhirnya Allah menjatuhkan hukuman mati terhadap manusia dan keturunannya.[12]  Istilah ‘yetser hara’ dipakai untuk menjelaskan bahwa benih kejahatan telah ditaburkan ke dalam hati Adam sejak semula.
Seorang rabi Yahudi yang bernama Rabi Jochanan pernah mengajarkan bahwa Allah telah memberikan Torah kepada setiap bangsa dan bahasa, tetapi hukum tersbut tersebut tidak akan diterima sampai Allah kembali ke tengah-tengah umat-Nya Israel dan mereka pun menerimanya.[13]  Pada umumnya, penafsiran dan ajaran Yudaisme terhadap dosa bisanya berkaitan dengan Hukum, hal-hal yang jahat di mata Allah Israel, dan juga tanggung jawab manusia dalam memelihara Hukum-Nya (Yes. 33:2; Hab. 3:3).

3.   Bapa-Bapa Gereja
Ø  Ireneaus
Ia berpandangan bahwa setelah diciptakan, manusia belumlah mengalami kedewasaan total. Sebagaimana pandangannya yang dikutip oleh Linwood Urban[14] dari karya Ireneaus yang berjudul Against Heresies bahwa manusia itu masih kecil. Manusia yang adalah tuan atas bumi masih perlu bertumbuh hingga mencapai kesempurnaannya. Kemudaan manusia itulah yang sebenarnya membuat manusia mudah dicobai dan jatuh ke dalam dosa. Pandangan ini bersifat sangat tradisional da karena itu sulit diterima secara umum. Hal itu dimungkinkan juga karena di dalam Alkitab telah dicatat bahwa seluruh ciptaan Allah itu baik adanya (Kej. 1:31).



Ø  Origenes
Ia memandang Allah sebagai Pencipta yang memiliki status lebih tinggi kesempurnaan-Nya dibanding manusia yang adalah makhluk ciptaan. Origenes menawarkan konsep pra-eksistensi jiwa dalam usaha interprestasinya terhadap peristiwa Kejatuhan. Ia menggambarkan imajinasinya tentang kondisi dunia sebelum dan ketika dunia diciptakan. Peristiwa kejatuhan manusia dihibungkan dengan kejatuhan malaikat.
Sebelumnya Allah telah menyediakan kehendak bebas bagi para malaikat, roh-roh jahat, dan jiwa-jiwa (yang akan menjadi manusia).[15] Melaluinya malaikat mengawali kejatuhannya dengan memberontak kepada Allah kemudian diikuti oleh roh-roh jahat sehingga Allah mengusir mereka dari surga. Sementara itu, untuk jiwa-jiwa yang tidak begitu parah kesalahannya tapi tetap harus dihukum. Mereka memperoleh kesempatan untuk diikatkan pada tubuh dan ditempatkan di dunia sebagai hukuman.
Gagasan Origenes ini dapat digolongkan sebagai hasil imajinasi tingkat tinggi. Karena pada dasarnya di dalam kesaksian iman Alkitab dinyatakan bahwa Allah-lah yang menghembuskan nafas kehidupan kepada debu tanah itu sehingga terjadilah kehidupan yang baru, yaitu manusia. Artinya ialah belum ada kehidupan sebelumnya (Kej. 2:7).

Ø  Athanasius
Karya Athanasius dalam hubungannya denga dosa warisan (asali), ia pernah mengeluarkan tulisannya yang berjudul The Incarnation of the World of God.[16] Melalui karyanya ini ia memberikan gambaran bahwa terdapat peristiwa historis di dalam kisah Kejadian. Ia tidak menolak konsep Imago Dei. Dalam hubungannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang baik, manusia ditempatkan di taman sukacita yakni Taman Eden (Garden of Deloghts).
Sepertinya perintah Allah menjadi syarat penting yang ditawarkan kepada manusia jika ingin terhindar dari kesusahan, kesakita, kecemasan, dan penderitaan hidup. Maksudnya ialah agar tetap beroleh hidup kekal di surga. Syaratnya ialah manusia harus menataati peraturan yang ditetapkan Allah. Namun, ketidaktaatan manusia telah menyebabkan kehancuran manusia dan seluruh dunia (kosmos) ciptaan Allah. Dengan demikian, manusia menjadi lebih condong terhadap pikiran dan perbuatan jahat (dosa).
Pandangan ini mendekati pada pemaparan teks Alkitab tentang teologi yang disampaikan di dalam kemasan peristiwa Kejatuhan. Oleh karena itu, pandangan Athanasius merupakan cikal bakal konstruksi doktrin bagi gereja sesudahnya terkhusus doktrin mengenai dosa warisan paska Gereja Mula-mula. Ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan manusia pada dasarnya adalah harapan manusia untuk tetap dapat mengalami kebahagiaan yang kekal bersama Penciptanya di surga yang baka.

Ø  Augustinus
Ia mengajarkan doktrin Kejatuhan dalam hubungannya dengan dosa asali (warisan). Tujuan utamanya ialah untuk menentang ajaran Pelagius[17] dan para pengikutnya (Pelagianisme). Perbedaan pandangan yang sangat kontras di antara keduanya adalah apakah dosa sebagai cacat warisan yang dapat diturunkan Adam atau tidak.
Para pengikut Pelagius mengklaim bahwa dosa Adam hanya berpengaruh terhadap diri Adam sendiri. Allah menciptakan setiap manusia secara langsung ketika lahir dengan kondisi tidak bersalah, bebas dari berbagai kecenderungan berbuat salah, dan memiliki kemampuan taat kepada Allah, seperti yang terjadi pada Adam pada mulanya. Setelah peristiwa kejatuhan manusia, Allah hanya menuntut tanggung jawab dari manusia atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sendiri. Mereka menegaskan bahwa satu-satunya akibat dosa Adam kepada keturunannya ialah keteladanan yang buruk. Adam melalui perbuatannya tidak taat kepada perintah Allah. Pada intinya menurut Pelagius, manusia tidak berdosa sejak lahir, ketika ia melakukan dosa maka di situlah pertama kali manusia itu berdosa. Oleh karena itu, yang ditekankan adalah masalah tanggung jawab di dalam diri manusia.
Berbeda jauh dengan Augustinus yang pandangannya hampir sama dengan pandangan Athanasius. Menurutnya, Adam memang memiliki apa yang tidak dimiliki oleh manusia setelah masanya, yaitu keunggulan hikmat tertinggi. Tetapi Adam juga sekaligus memiliki ketidaksempurnaan apapun. Maksudnya ialah sebagai manusia pertama, Adam seharusnya memnjadi manusia yang paling berhikmat karena masih memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Namun setelah itu, manusia menyalahgunakan kehendak bebasnya sehingga menyebabkan manusia jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian, manusia kehilangan kesempurnaannya yang semula. Sebagai akibatnya manusia dan kosmos mengalami berbagai kesengsaraan yang mendalam dan berakibat universal. Hal ini bagi Augustinus bukan lagi karya Allah, tetapi sudah merupakan hasil pemberontakan dan kejahatan manusia.
Pada intinya, Augustinus meyakini bahwa kecenderungan manusia untuk terus melakukan perbuatan dosa adalah warisan dari dosa kejatuhan Adam sejak manusia dilahirkan. Dengan keyakinan kuat bahwa semua manusia adalah keturunan Adam, maka ia tiba pada kesimpulan semua manusia telah berbuat dosa. Maka perbedaannya dengan ajarab Pelagius ialah, kondisi dan posisi manusia sejak lahir menurut Pelagius adalah bersih adanya. Manusia bersih adanya sampai pada ia memiliki kesadaran dalam melakukan dosa. Sedangkan Augustinus berpendapat bahwa ketika lahir manusia sudah berdosa dan kemudian dalam pertumbuhannya di masa depan akan terus melakukan perbuatan karena benih dosa sudah diturunkan kepadanya sejak dilahirkan. Terhadap pandangan ini, ternyata banyak juga teolog dan gereja yang tidak begitu setuju. Meskipun demikian, doktrin Augustinus ini merupakan bagian dari konstruksi doktrin gereja tentang dosa paska Gereja Mula-mula.

4.   Reformasi
Ø  Martin Luther
Ia merupakan salah seorang teolog yang memiliki pandangan yang sama dengan Augustinus. Luther menyadari bahwa dalam kejatuhan Adam, semua manusia telah berdosa (In Adam’s Fall We Sinned All).[18]  Sebelumnya ia membagi dosa ke dalam dua jenis, yaitu dosa asali yang diwarisi dari orangtua sejak manusia dilahirkan, dan dosa perbuatan yang merupakan dosa karena hasil perbuatan pribadi manusia itu sendiri. Ia menafsirkan Roma 5:14 sebagai pendukung argumennya. Dimana oleh satu dosa Adam telah menyebabkan semua orang lahir dalam kesalahan Adam  dan mewarisi perbuatan yang sama.
Dalam buku kecil mengenai Konfessi-konfessi Gereja Lutheran[19] dinyatakan bahwa sakit-penyakit yang dialami manusia sebenarnya adalah akibat dari kelahiran manusia yang sudah dalam keadaan berdosa. Karena membawa hukuman murka Allah yang kekal, maka semua orang harus dilahirkan kembali melalui baptisan dan Roh Kudus. Unsur-usur dosa warisan (asali) adalah kekurangmampuan untuk bisa yakin, takut, atau sayang kepada Allah, serta hawa nafsu yang memburu kenikmatan jasmani yang berlawanan dengan Firman Allah.
Dosa warisan (peccatum originale) dterima oleh setiap manusia sejak ia masih di kandungan ibunya (Mzm. 51:5; Ef. 2:3). Hal ini berarti bahwa secara alami, sejak lahir manusia telah membawa dosa masuk ke dalam dunia. Menurut Luther, dosa warisan ini-lah yang nantinya menjadi pendorong munculnya dosa perbuatan di dalam kehidupan setiap anak-anak manusia. Karena itu muncul pertanyaan, bagaiman jika orangtua yang saleh dan tidak berbuat dosa lagi, apakah anak yang akan dilahirkannya juga adalah berdosa? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini, Luther menyediakan jawabannya dalam hubungannya dengan baptisan sebagai tanda penerimaan Allah terhadap keberadaan manusia apa adanya.

Ø  Yohanes Calvin
Calvin berpandangan bahwa manusia didorong oleh keinginan yang datang dari keinginan alaminya. Menurut Calvin dosa warisan / turunan adalah suatu kerusakan dan kebejatan kodrat manusia yang turun-temurun, yang tersebar ke semua bagian jiwa, dan membuat kita pertama-tama layak ditimpa kemurkaan Allah, kemudian menimbulkan dalam diri kita perbuatan-perbuatan yang oleh Alkitab dinamakan “perbuatan-perbuatan daging”.[20]   
Calvin memang berpandangan bahwa dosa merupakan hal yang berhubungan dengan tanggung jawab manusia. Bukan hanya nafsu rendah yang telah menggodanya sampai berbuat jahat, tetapi kefasikan yang merupakan kutukanlah yang tekah merebut bagian terpenting dalam diri manusia yaitu benteng jiwanya sehingga kesombongan menyusup sampai ke relung hatinya.[21] Dengan demikian manusia selalu terdorong untuk melakukan perbutan dosa. Itulah alasannya mengapa bagi Calvin, dosa itu sebagai keharusan yang ditanggungkan kepada manusia sebagai bagian dari rencana Allah. Dengan demikian, Calvin berpendapat bahwa dosa warisan tetap ada hubungannya dengan dosa Adam.

5.   Paska Reformasi
Ø  Karl Rahner
Usaha memahami ‘dosa asali’ (dosa warisan) dimulai dengan fakta bahwa manusia memiliki ‘kehendak bebas’ sebagai anugerah Allah. Kehendak bebas yang dimaksud adalah keputusan pribadi manusia itu sendiri dalam melakukan tindakan-tindakannya. Rahner tidak menolak historisitas dosa asali tetapi kurang setuju dengan adanya keturunan manusia hanya dari dua orang saja. Dosa asali menurut Rahner, tidaklah dilanjutkan begitu saja kepada keturunannya. Hal yang mendasarinya adalah bahwa dosa asali dalam pemahaman kekristenan tidak bertujuan untuk menunjukkan perbuatan bebas manusia diteruskan kepada keturunan manusia sebagai ‘kualitas moral’. Kesalahan pribadi dari kebebasan perbuatan asali tidak dapat dilimpahkan begitu saja karena dosa asali ini merupakan sikap yang mencoba meniadakan Allah dan bahkan menentang-Nya.[22]
Rahner juga menekankan tentang peranan Roh Kudus dan anugerah Allah dalam peristiwa paska kejatuhan. Maksudnya ialah, kejatuhan manusia telah menyebabkan manusia mengalami keterasingan dari kehidupan bersama Allah. Manusia tidak mampu lagi merasakan kehadiran Allah dan juga tersingkir dari anugerah Allah. Tanpa semuanya itu, manusia menjadi kehilangan kemampuan untuk mengendalikan berbagai keinginan / kehendaknya. Dalam situasi seperti inilah dirasakan pentingnya peranan Roh Kudus yang diyakini dapat menuntun manusia dalam melakukan kehendak bebasnya sesuai dengan perintah Allah.
Dengan demikian, Rahner tiba pada kesimpulan bahwa dalam kesalahannya, manusia sedang diperbudak. Ketika manusia mengakui kesalahannya, itu berarti ia sedang mencoba membiarkan dirinya dilepaskan dari perbudakan keinginanya dan disentuh oleh anugerah Allah. Pada saat seperti inilah manusia dapat menyadari bahwa dirinya berada dalam ketidakberdayaan. Sehingga dengan demikian, manusia dapat menaklukkan kehendaknya di bawah kehendak Allah.

Ø  R einhold Niebuhr
Ia memulai pandangannya bahwa manusia adalah orang berdosa (man as sinner). Baginya, peristiwa kejatuhan bukanlah fakta historis yang nyata, melainkan sebagai gambaran peristiwa dan kondisi manusia sepanjang zaman. Di dalamnya dipaparkan bahwa ada banyak hal yang harus ditafsirkan dengan lebih berhati-hati agar jangan salah interpretasi. Menurutnya, dosa tidaklah disebabkan oleh ‘pertentangan’. Maksudnya, bukan pertetangan secara langsung dengan Allah. Manusia seharusnya diperlihatkan jatuh ke dalam dosa karena adanya ambiguitas di dalam posisinya, yaitu kedudukannya sebagai manusia di dunia dan situasi alaminya sejak lahir.[23]
Niebuhr tidak menolak kebenaran doktrin yang mengajarkan bahwa dosa adalah warisan Adam. Ia memang lebif  berfokus kepada egoisme kolektif maupun egoisme individual.[24] Maksudnya ialah sebagai manusia, terdapat unsur moral yang berkaitan erat dengan kehendak manusia. Karena itu, manusia mencoba mengatasiya dengan ‘kuasa keinginan’ yang melampaui batas yang ditentukan dari batas manusia sebagai makhluk ciptaan. Dengan segala kemampuan intelektual dan adanya celah budaya (cultural lag), manusia dirasuki oleh rasa bangga terhadap diri sendiri dan itu merupakan dosa juga. Kuatnya keinginan dan rasa bangga diri manusia telah mengganggu keharmonisan dengan Penciptanya maupun dengan ciptaan lainnya.[25] Beranjak dari gagasan inilah ia menuliskan tentang dua faktor yang menyebabkan manusia cenderung jatuh ke dalam dosa. Kedua faktor itu ialah dosa yang tidak terelakkan sebagai manusia yang memiliki kehendak dan tanggung jawab atas dosa. Keduanya sepertinya kontradiktif tapi juga merupakan suatu kenyataan bahwa manusia memiliki egosentris yang tak terhindarkan, yaitu rasa cinta kepada diri sendiri.
Niebuhr mencoba kembali kepada teks Alkitab yang memberikan penjelasan tentang dosa dalam hubungan iman dengan moral. Dosa di dalam lingkup iman adalah pemberontakan manusia terhadap Allah, yaitu upaya untuk merebut posisi Allah. Sedangkan di dalam lingkup moral dan sosial, dosa adalah ketidakadilan.[26] Niebuhr meyakini bahwa di dalam kehidupan manusia sepanjang masa, unsur yang disebut sebagai ‘yetser hara’ itu masih terus memainkan peranannya. Hal itu tampak jelas dari banyaknya godaan yang menarik manusia untuk jatuh ke dalam dosa. Historisitas kejatuhan Adam menurut Niebuhr hanya merupakan paparan mengenai adanya kehendak / keinginan manusia yang tidak dapat dikontrol oleh manusia sendiri sehingga akhirnya menyebabkan pemberontakan di hadapan Allah.

IV. ANALISA
Ø  Kontradiksi Istilah “Dosa Warisan (Asali)”
Sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya bahwa istilah ‘dosa warisan (asali)’ muncul karena pada umumnya pandangan para tokoh-tokoh di atas menyetujui bahwa dosa warisan mengacu pada peristiwa Kejatuhan Adam. Mau tidak mau, bagaimana pun para teolog yang memberikan perhatian kepada masalah ‘dosa’ harus melihat kembali historisitas peristiwa Kejatuhan.
Istilah ‘dosa’ tidak terlalu menjadi sorotan permasalahan karena secara merata baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, isitilah dosa dimengerti sebagai perbuatan yang melanggar perintah Alllah. Istilah ‘warisan’ merupakan inti permasalahannya. Pada umumnya pandangan tradisional yang masih sederhana dan sebagian tokoh dalam masa Gereja Mula-mula menilai istilah tersebut wajar-wajar saja. Tetapi kemudian, tokoh-tokoh lainnya (baik teolog maupun non-teolog) mengembangkan penilaiannya tidak hanya berkecimpung dalam lingkup spiritualitas saja.
Ada kemungkinan besar bahwa para tokoh yang menolak dosa sebagai warisan Adam kepada keturunannya berasal dari golongan orang-orang humanisme. Alasannya ialah ada unsur egosentris di dalamnya karena mereka menganggap manusia memiliki kemampuan dalam menolak dosa. Hal yang mereka soroti pada umumnya ialah soal moralitas. Jadi, istilah ‘warisan’ pada dosa  bagi mereka seakan menunjukkan kelemahan dan ketidaberdayaan manusia.
Berdasarkan penafsiran para rabi Yahudi (Agama Yahudi) sebagai sumber informasi utama dalam hal ini, dosa adalah warisan dari manusia pertama, yaitu Adam. Selain itu, Allah juga dikisahkan melakukan penolakan terhadap ayah dan anaknya sekaligus karena diantaranya terdapat hubungan keturunan. “… Ayah-ayah makan buah mentah dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu? Demi Aku yang hidup, demikianlah firman Tuhan ALLAH, kamu tidak akan mengucapkan kata sindiran ini lagi di Israel. Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya! Dan orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yeh. 18L2-4).
Martin Luther dalam interpretasinya terhadap beberapa Kitab Perjanjian Baru, mencoba memakai analogi setiap buah menggambarkan pohonnya yang diambil dari pernyataan Yesus dalam Lukas 6:44. Melalui suratnya kepada jemaat Efesus, Paulus mengajarkan bahwa manusia pada hakikatnya hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikirannya yang jahat. Karena itu harus dimurkai oleh Allah (Ef. 2:3). Yesus Kristus dalam pengajaran-Nya mengingatkan bahwa manusia dilahirkan dari daging sehingga cenderung memiliki sifat kedagingan. Dan sebailknya yang dilahirkan dalam Roh akan memiliki sifat yang berasal dari Roh (Yoh. 3:6). Jadi, istilah ‘dosa warisan’ tidaklah begitu aneh lagi karena dengan menerimanya sebagai hakikat dasar keberadaan manusia, maka manusia semakin sadar akan kelemahan dan berserah penuh kepada kehendak Allah.
Karl Barth menekankan bahwa pengetahuan yang terpenting dalam menanggapi hal ini adalah pentingnya pengetahuan tentang keselamatan yang dilakukan Anak Allah melalui peristiwa kematian dan kebangkitan-Nya.[27] Dengan demikian, manusia yang berada di bawah kutuk dosa mengalami keselamatan sebagai posisi yang baru, yaitu orang-orang yang diselamatkan. Melaluinya, orang lain (bangsa lain) juga diharapkan dapat beroleh berkat dan keselamatan.

Ø  Pandangan Yesus tentang Dosa
Yesus memusatkan ajaran-jaran-Nya terhadap konsep-konsep Perjanjian Lama. Salah satunya tentang dosa yang diartikan sebagai pencemaran, kesalahan akibat pelanggaran terhadap perintah-perintah Allah, dan penolakan manusia terhadap kasih Allah. Tidak ada kisah Kejatuhan dibicarakan sama sekali. Yesus mengetahui keberadaan manusia yang sudah terpisah dari Allah karena dosa. Manusia diperingatkan bahwa hati dan pikiran manusia dapat menjadi sumber munculnya keinginan-keinginan yang jahat (Mat. 15:19). Yang paling menarik dalam hal ini adalah Yesus tidak membatasi dosa hanya pada pelanggaran hukum saja. Justru Yesus menekankan bahwa ada hukum yang terutama, yang olehnya manusia beroleh pengharapan untuk dapat selalu beroleh pengampunan Allah. Intinya, dosa tidak lagi menjadi halangan untuk manusia bisa datang kepada Allah. Karena untuk itulah Yesus Kristus datang ke dunia yang fana, yaitu untuk melepaskan manusia dari belenggu dosa dan mengalami rekonsiliasi dengan Allah.

V. PENUTUP
A. Refleksi Teologis
Adam dijadikan sebagai benih yang akan mengeluarkan pohon yang besar. Tentunya keadaan benih itulah yang menentukan keadaan pohon kelak. Kalau benihnya baik, tentu akan menjadi pohon yang baik. Setelah Adam (dan Hawa) berbuat dosa, ia  dijatuhi hukuman. Hukuman dalam hal ini juga berarti kerusakan jwa dan tubuh manusia. Hukuman ini berdampak juga terhadap orang-orang yang menjadi turunannya yangh juga dilahirkan dengan kerusakan jiwa dan tubuh. Hukumannya, tidak hanya mengalami sakit dan penderitaan, melainkan juga kematian. “Kamu yang dahulu sudah mati” (Ef. 2:1).
TUHAN Allah ialah sumber yang dapat memberikan segala sesuatu kebutuhan manusia, termasuk untuk hidup. Pada hakikatnya, manusia sudah mengalami kerusakan, artinya manusia telah kehilangan kemuliaan yang asli yang diberikan oleh Tuhan sejak semula (Rom. 3:23). Kerusakan warisan menjalar dengan kelahiran manusia dari generasi ke generasi. Seperti yang dikatakan oleh Augutinus dalam pandangannya, bahwa kerusakan di dunia bukanlah karya Allah lagi, tetapi hasil pemberontakan manusia. Dosa bukanlah karya Allah, tetapi dosa diteruskan oleh Kuasa Jahat (Iblis) melalui alatnya, yaitu ‘kelahiran’ (Ayb. 14:4; Yoh. 3:6).
Dosa warisan dapat menimbulkan pertanyaan tentang keadilan Allah di dalam dunia ini (teologi keadilan). Pada hakikatya, ia adalah Allah Yang Maha Adil dalam segala rencana dan tindakan-Nya. Itulah konsekwensi dari posisi Adam sebagai manusia pertama yang harus berketurunan dan mewariskan dosa karena telah jatuh ke dalam dosa. Berdasarkan Alkitab umat diajarkan bahwa semua manusia telah mewarisi sifat berdosa (Ayub 14:4; 15:14; Mzm. 51:7; Rom. 5:12; Ef. 2:3).
Kehendak bebas manusia merupakan suatu kemampuan dari kemauan, manusia. Melalui kehendaklah manusia dapat memilih dan menentukan sendiri tujuan hidupnya. Manusia pada umumnya menjadi bersalah karena melakukan tindakan-tindakan yang berdosa, namun manusia tetap menyadarinya (Mzm. 58:4; Yes. 48:8). Tidak ada orang yang dapat diselamatkan hanya dengan melakukan perbuatan baik (Mzm. 143:2; Kis. 13:29; Rom. 3L20; Gal. 2:16). Alkitab menggambarkan keadaan manusia telah jatuh sebagai akibat langsung dari dosa Adam (Rom. 5:15-19).
Dalam Teologi Penciptaan, Allah menciptakan segala sesuatunya dalam keadaan baik adanya. Allah menciptakan manusia dengan menjadikannya milik kepunyaan-Nya. Demikianlah Allah memilih umat-Nya Israel sebagai milik kepunyaan-Nya dengan mengikat perjanjian dengan mereka, meskipun mereka selalu jatuh ke dalam dosa. Meskipun sepertinya melalui peristiwa Kejatuhan, pandangan teologi tradisional menilai bahwa Allah dan manusia tidak ada hubungan lagi. Namun, pada kenyataannya Allah tetap berhubungan dengan manusia. Bahkan dalam perjanjian-Nya, Allah mengikatkan diri-Nya dan memberikan masa depan kepada manusia. Kemudian Allah melajutkan perjanjian-Nya dengan umat-Nya (gereja) melalui karya keselamatan yang dikerjakan melalui Yesus Kristus, Anak Allah. Tujuan-Nya ialah agar setiap orang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16).
Dengan demikian, dosa warisan maupun dosa perbuatan tidak menjadi penghalang antara Allah dan manusia. Allah di dalam Yesus Kristus telah menganugerahkan Roh Kudus kepada manusia agar manusia mampu melakukan perintah Allah dan menolak dosa.

B. Kesimpulan
1.   Istilah ‘dosa warisan’ berasal dari pandangan tradisional yang titik berangkatnya adalah peristiwa Kejatuhan. Kejatuhan Adam sebagai manusia pertama menyebabkan seluruh umat manusia mendapat bagian dalam keberdosaannya. Manusia menjadi berdosa sejak dilahirkan ke dunia, bahkan ketika dalam kandungan ibunya. Pandangan ini juga secara umum disutujui oleh para Rabi Yahudi, para tokoh-tokoh teolog Kristen dari zaman Bapa-Bapa Gereja Mula-mula hingga Paska Reformasi.
2.   Allah menganugerahkan kehendak bebas kepada manusia untuk dapat bertanggung jawab terhadap perintah-perintah Allah. Melalui pertimbangan akan unsur inilah muncul perdebatan terhadap kontradisksi dari istilah ‘dosa warisan’. Manusia dipandang sebagai makluk yang bebas berkehendak, oleh karena itu ia pasti bisa menolak dosa. Meskipun demikian, kebanyakan pandangan para ahli teologi mendukung bahwa benih dosa sudah terdapat dalam diri setiap manusia sejak lahir sebagai akibat dosa Adam. Kehendak bebas yang diberikan hanya unsur lain dari penyebab melakukan dosa.
3.   Manusia dicobai oleh keinginannya sendiri. Demikianlah sejak semula, manusia telah mengalami pencobaan dan akhirnya jatuh ke dalam dosa. Akibatnya ialah manusia tersingkir dari anugerah Allah dan terpisah dari kekudusan-Nya, sebab Allah adalah kudus. Selanjutnya, manusia lebih condong kepada perbuatan dosa.
4.   Dosa warisan tidak menjadi alasan bagi Allah berhenti dalam melakukan karyan-Nya di dunia ciptaan-Nya. Karya keselamatan yang dianugerahkan Allah melalui Putera-Nya Yesus Kristus merupakan kabar sukacita kepada semua manusia yang berada di bawah kutuk dosa. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Allah melanjutkan perjanjian-Nya kepada keturunan Adam, Abraham, Ishak, dan Yakub. Dosa warisan tetap menjadi perhitungan, bukannya ditiadakan. Karena dengan demikian manusia senantiasa mengenali dirinya sebagai ciptaan yang mengharapkan pengampunan dari Allah. Oleh sebab itu, melalui karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus, Allah telah menganugarahkan Roh Kudus kepada setiap manusia agar memiliki ‘hati yang takut akan Tuhan’ sehingga taat dan setia kepada perintah Allah di dalam kasih.
“…Kita malah bermegah dalam Allah oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian itu Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Rom. 5:11-12).



























DAFTAR PUSTAKA



Balz.,  Horst (Ed.)       Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 3  (Michigan: Eerdmans Publishing, 1993)

Barth, C                      Teologia Perjanjian Lama I  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)

Bromiley, G. W. (Ed.)            Church Dogmatic by Karl Barth – The Doctrine of Reconciliation I (New York: T. & T, Clark, 1956)

Calvin, Yohanes          Instituio – Pengajaran Agama Kristen terjemahan J. S. Aritonang  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005)

Dahlenburg, G. D       Konfesi-Konfesi Gereja Lutheran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991)

Friedrich, Gerhard      Theological Dictionary of New Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1967)

Kittel,  Gerhard           Theological Dictionary of New Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1964)

Lehmann, Karl (Ed.)   The Content of Faith – The Best of Karl Rahner’s Theological Writings, (New York: Crossroad Publishing, 1999)

Luther, Martin             What Luther Says Vol. 3 (Missouri: Concordia Publishing House, 1959)

­­­ Urban, Linwood        Sejarah Ringkas Pemikiran Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)

Pieper, Francis             Index Christian Dogmatics Vol. IV (Missouri: Concordia Publishing House, 1957)

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan     Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)

_______________      Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,  1992)





[1] Gerhard Kittel, Theological Dictionary of New Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1964), 287
[2] Gerhard Friedrich, Theological Dictionary of New Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1967)
[3] Horst Balz (Ed.), Exegetical Dictionary of the New Testament Vol. 3  (Michigan: Eerdmans Publishing, 1993),  14-15
[4] ­­­________, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih,  1992),  256
[5] Francis Pieper, Index Christian Dogmatics Vol. IV (Missour: Concordia Publishing House, 1957),  755
[6] C. Barth, Teologia Perjanjian Lama I  (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008),  39
[7] Ibid.,  40
[8] Ibid.,  40
[9] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005),  411
[10] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),  161
[11] Linwood Urban, op. cit.,  170
[12] Ibid.,  170
[13] Gerhard Friedrich, op. cit., 289-290
[14] Linwood Urban, op. cit., 176
[15] Seperti yang dipaparkan dalam buku Linwood Urban. Linwood Urban, op. cit.,  176
[16] Sebagaimana yang dikutip oleh Linwood Urban. Linwood Urban, op. cit.,  178
[17] Pelagius ialah seorang biarawan Inggris (370 M). Ia pernah mengemukakan ajaran-ajarannya di Roma (409 M). Namun secara kesleuruhan Konsili di Kartago pada tahun 418 menolaknya. Ajaran Pelagius umunya diterima oleh golongan antitrinitarisme (sosianisme) dan unitarianisme.
[18] Martin Luther, What Luther Says Vol. 3 (Missouri: Concordia Publishing House, 1959),  1295
[19] G. D. Dahlenburg, Konfesi-Konfesi Gereja Lutheran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),  23
[20] Yohanes Calvin (J. S. Aritonang – terj.), Instituio – Pengajaran Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005),  60
[21] Yohanes Calvin (J. S. Aritonang – terj.), op. cit., 61
[22]  Karl Lehmann (Ed.), The Content of Faith – The Best of Karl Rahner’s Theological Writings, (New York: Crossroad Publishing, 1999),  528
[23] Reinhold Niebuhr, The Nature and Destiny of Man  (New York: Charles Scribner’s Son, 1964),  178
[24] Linwood Urban, op. cit.,  189
[25] Reinhold Niebuhr, op. cit.,  178
[26] Ibid.,  179
[27] G. W. Bromiley (Ed.), Church Dogmatic by Karl Barth – The Doctrine of Reconciliation I I  (New York: T. & T, Clark, 1956),  359

No comments:

Post a Comment