I. PENDAHULUAN
Gereja-gereja menetapkan berbagai ajaran tentang dosa. Ajaran-ajaran itu
meliputi sumber-sumber dosa, hal-hal yang merupakan perbuatan dosa, dan akibat
(konsekwensi) dari melakukan dosa. Tujuannya ialah untuk mengingatkan umat agar
selalu berusaha menghindarkan diri dari melakukan perbuatan dosa. Gambaran yang
pertama kali diberikan sebagai akibat jika umat melakukan perbuatan dosa ialah hukuman
Allah. Pengajaran yang cenderung bersifat kaku dan terkesan angker tentang dosa
sering menyebabkan masalah yang lain muncul dalam kehidupan umat. Kemalangan,
penderitaan, dan penyakit dalam kehidupan manusia dipandang sebagai ‘buah dari
dosa’. Namun yang menjadi masalah di sini dosa yang dimaksud bukan hanya
terikat kepada dosa karena perbuatan, tetapi juga karena dosa warisan (dosa
asali).
Dosa warisan dipahami sebagai dosa yang telah diwariskan secara
turun-temurun di dalam kehidupan umat manusia. Itulah yang menjadi penyebab
dari seluruh permasalahan yang ada di dunia ini. Bahkan sudah dianggap sebagai
takdir manusia sejak dilahirkan. Oleh karena itu, penting dilakukan upaya
pengkajian dogmatis yang murni berlandaskan Alkitab untuk memperoleh pemahaman
yang lebih jelas tentang hal tersebut.
II. ETIMOLOGI
- Dosa Berdasarkan Alkitab
Kata ‘dosa’ dalam Perjanjian Lama berasal dari kata
Ibrani khatta’t dan ‘awom. Kata khatta’t merupakan kata kerja yang artinya menghilangkan atau tidak
mengikuti jalur. Kata ‘awom merupakan
kata benda maskulin yang artinya perbuatan salah atau ketidaksusilaan (Mzm.
51:6).
Perjanjian Baru secara umum menggunakan kata hamartia[1] dan
parabasis[2] untuk
menyebutkan istilah dosa. Kata hamartia
sebagai kata benda maskulin yang artinya perbuatan alami (sifatnya alamiah).
Kata ini berfungsi untuk jenis perbuatan-perbuatan di luar ketidakbenaran yang
sifatnya alami. Orang yang melakukannya pun masih bisa diampuni (hamartolos). Kata ini juga digunakan
untuk tindakan-tindakan kejahatan yang sederhana, tidak terlalu berat (Luk.
15:18, 21). Kata parabasis diartikan
sebagai tindakan perlawanan terhadap hukum Allah. Hukum Allah yang dimaksud
ialah Hukum Taurat (Luk. 6:4; Rom. 2:23, 25, 27). Perbuatan ini tentunya
kejahatan yang sangat berat dibandingkan dengan arti kata sebelumnya. Kata parabasis pada umumnya ditemukan dalam
surat Galatia dan Roma.[3] Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma
menjelaskan bahwa dosa sebelumnya sudah ada, tepatnya sebelum Hukum Taurat ada
(Rom. 5:13f). Hal itu dimaksudkan bahwa Paulus ingin menjelaskan pembedaan
antara kata parabasis kata hamartia dalam ajarannya tentang sejarah
keselamatan.
Dengan demikian, dosa dapat diartikan sebagai perbuatan-perbuatan
kegagalan, kekeliruan, kesalahan, pelanggaran, kelaliman, ketidakadilan, dan
perbuatan yang tidak menaati hukum oleh manusia terhadap Allah (1 Yoh. 3:4).[4]
- Pengertian Dosa Warisan (Asali)
Istilah ‘dosa warisan’ disebut juga sebagai ‘dosa asali’.
Tidak ada kata ‘dosa asali (warisan)’ ditemukan secara hurufiah di dalam
Alkitab. Namun, secara umum berdasarkan Alkitab, dosa asali dipahami sebagai akibat
dosa pertama yang diwarisi dari orangtua. Dosa yang dilakukan manusia pertama –
Adam – yang telah menyebabkan semua manusia menjadi berdosa sejak dilahirkan
(Rom. 5:12). Dalam daftar Indeks Dogma
Kristen, ‘dosa asali’ diartikan sebagai kondisi alami manusia sejak lahir.[5]
III. DESKRIPSI
A. Doktrn tentang Dosa secara Biblika
1. Kejatuhan
Manusia Pertama: Sumber Dosa (Kej. 3)
TUHAN Allah menempatkan manusia pertama – Adam – di
Taman Eden agar dia memelihara dan mengelola taman itu (Kej. 2:15). Allah
memberi perintah yang harus mereka patuhi, jika tidak, maka akan ada
konsekwensinya. Perintah Allah melalui Firman-Nya kepada Adam meliputi anjuran
dan larangan. Terdapat unsur hukum di dalam perintah Allah yang tentunya
memiliki konsekwensi, yakni hukuman.
Berdasarkan kisah dalam Alkitab, manusia dilarang oleh
Allah untuk memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang
jahat. Jika mereka melanggarnya, maka akibatnya adalah mereka akan ‘mati’ (Kej.
3:3). Manusia pertama, dalam pertemuannya dengan Iblis di Taman Eden yang
datang dalam rupa ular, pada akhirnya menyebabkannya keluar dari jalur perintah
Allah. Karena itu, manusia disebutkan telah melanggar perintah Allah. Hal
tersebut membawa manusia masuk ke dalam situasi dan kondisi yang baru, yaitu ‘berdosa’.
Maksudnya ialah kondisi manusia
sebelumnya ialah kondisi yang tanpa dosa dan memiliki hubungan yang baik dengan
Allah. Setelah peristiwa kejatuhan, rentetan masalah dihadapi manusia pertama
(kelompok manusia pertama).
Tahap pertama bukti kerusakan hubungan manusia dimulai
dari pengusiran dari Taman Eden. Manusia kehilangan hak untuk hidup damai dan
sejahtera. Mereka harus mengusahakan dengan jerih payahnya sendiri untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Penderitaan, kesakitan, bahkan kematian menjadi
bagian dari hidup manusia, dan setiap manusia harus mengalaminya. Tahapan
berikutnya sebagai kelanjutan dari perbuatan dosa ialah peristiwa pembunuhan
bersaudara oleh Kain terhadap Habel, kemudian kisah penghukuman dengan air bah
pada zaman Nuh, peristiwa menara Babel, dan kisah-kisah perjalanan sejarah umat
Israel. Demikianlah semua kisah tersebut dipaparkan di dalam Alkitab untuk
menggambarkan bagaimana dosa melalui perbuatan anak-anak manusia mengalami
kontinuitas (Rom. 5:14).
2. Dosa dan Kehendak Bebas Manusia: Pencobaan
Sumber Alkitab dari Kejadian 3:1-6 memberikan gambaran
mengenai proses kehidupan yang dialami manusia pertama. Dengan ramuan kisah
narasi yang menyerupai dongeng atau cerita rakyat, di dalamnya diceritakan
bahwa manusia sebelum berdosa telah terlebih dulu mengalami pencobaan. Melalui
seekor ular, Iblis dikisahkan menggoda manusia agar melanggar perintah Allah.
Perintah Allah yang berisfat melarang justru dipakai
oleh Iblis untuk meyakinkan manusia dalam menggunakan keinginannya /
kehendaknya. Manusia diyakinkan bahwa Allah tidak memihak kepada manusia dengan
memberikan perintah-Nya, maksudnya ialah Allah itu egois terhadap manusia. Perempuan mencurigai Allah, maka wibawa
larangan pun hilang.[6] Maka
timbullah keinginan manusia untuk mengambil buah pohon pengetahuan tentang yang
baik dan yang jahat itu. Disorong oleh kehendak / keinginan sendiri, akhirnya
secar aktif manusia mengambil dan menikmati buah tersebut. Perempuan (Hawa) mengambil buah itu karena Ia mencita-citakan otonomi
(autos = sendiri, dan nomos = hukum) untuk menentukan sendiri hal-hal apa yang
baik dan apa yang jahat. Manusia tidak mau hidupnya dibatasi dari luar
(dirinya) oleh perintah Allah.[7]
Bukannya Allah tidak mampu melakukan pengawasan ketat
terhadap pohon itu. Apa yang menjadi kehendak Allah ialah tidak lebih dari apa
yang disebut ketaatan manusia. Secara
tradisional dikatakan bahwa Allah memberi perintah adalah untuk menguji apakah
manusia sungguh-sungguh mendengar dan paruh kepada perintah-Nya. Tetapi manusia
justru melanggar perintah Allah dan jatuh ke dalam dosa.[8] Gagasan
ini merupakan dasar yang disampaikan oleh teolog Perjanjian Lama. Cristoph
Barth untuk menyatakan bahwa Allah menciptakan manusia bukan sebagai mesin
(robot) yang diprogram seratus persen agar patuh kepada Allah. Allah dalam
kemurahan-Nya telah menganugerahkan ‘kehendak bebas’ kepada setiap manusia agar
terjadi interaksi dan relasi yang harmoni dengan manusia. Jadi, pengalaman
pencobaan pertama terhadap manusia dalam kaitannya dengan kehendak bebas
manusia, ternyata manusia bingung dalam menggunakan kehendak bebasnya. Manusia
selalu mengalami ambiguitas dalam memahami dan mematuhi perintah Allah.
Perintah Allah diyakini sebagai hal yang baik dan kehendak Iblis ialah hal yang
jahat. Dalam Kejadian 4:7 dinyatakan bahwa manusia berkuasa atas keinginan
mengikuti hasrat hati. Demikianlah profil seperti Nuh dikisahkan sedemikian
rupa untuk menegaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan manusia dapat bertahan
dalam keadaan tidak bercela, dengan hidup dan benar di antara orang sezamannya
(Kej. 6:9)
3. Akibat
Dosa: Hukuman Allah
Ø Arti Hukuman
Hukuman berarti siksa, kesakitan, kerugian, dan
sejenisnya yang dikenakan kepada orang-orang yang melanggar hukum /
undang-undang.[9] Allah mendatangkan hukuman sebagai
konsekuensi dai perbuatan dosa bertujuan untuk mempertahankan keadilan-Nya
karena Allah adalah sumber atau pemberi keadilan (Mzm. 24:5; 58:12).
Hukuman yang disebut juga sebagai sanksi pelanggaran
tidak hanya sebatas untuk membuat jera, tetapi juga merupakan proses
rekonsiliasi antara Pemberi Hukum (Allah) dengan yang menerima hukum (manusia).
Dalam sejarah perjalanan umat Israel, Allah memberikan Hukum Taurat kepada
umat-Nya melalui perantaraan hamba-Nya, Musa. Ketika umat jatuh ke dalam
penyembahan berhala dan menyimpang dari Hukum Taurat, Allah menghukum mereka.
Setelah melalui proses penghukuman, umat Allah berseru memohon pertolongan
kepada Allah. Maka dengan kasih setia-Nya, Allah datang menyelamatkan mereka
karna Dialah Penyelamat Israel (I Taw. 16:35).
Ø Universalitas Dosa: Kenapa harus Diturunkan
(Diwariskan)?
TUHAN Allah telah menjadikan manusia sebagai kesatuan
yang hidup (organis). Hal ini berkaitan dengan faktor biologis dan genetis
manusia dimana manusia bertumbuh satu dari yang lain, dari generasi ke generasi.
Tujuannya ialah agar sifat Ilahi dapat hadir juga di dalam kesatuan yang hidup
dengan manusia. Dengan demikian, kesatuan itu dapat memuliakan Allah. Namun setelah manusia jatuh
ke dalam dosa, kesatuan ini menjadi kesatuan di dalam dosa.
Dosa menghasilkan konsekuensi, yakni hukuman Allah. Sebagaimana
yang dicatat di dalam Alkitab, bahwa Allah adalah ‘Kudus’ adanya (Ul. 32:51).
Hukuman dapat digambarkan sebagai reaksi dari eksistensi Allah sebagai ‘Yang
Kudus’ terhadap dosa (yang tidak kudus) sehingga menyebabkan murka Allah (Rom.
1:18). Hasilnya adalah hukuman Allah atas setiap umat manusia yang berdosa. Hukuman
yang dimaksud ialah kematian. Hukuman ini berlaku kepada seluruh manusia dari
masa ke masa, “Maut telah menjalar kepada
semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Roma 5:12).
B. Pembahasan Dosa Asali dalam Perkembangan Sejarah
Iman
1. Pandangan
Tradisional (Gereja Mula-Mula)
Pemahaman fundamental mengenai dosa terdiri dari empat
bagian besar tahapan.[10]
Tahapan yang pertama ialah peristiwa penciptaan Allah. Allah menciptakan
manusia yang sempurna dan menempatkannya di Taman Eden. Sebagai ciptaan
tentunya manusia berbeda dengan Penciptanya, yaitu Allah. Karena itu manusia
telah memiliki hakikat alamiah, yakni sebagai makhluk yang fana. Tahapan kedua,
manusia menjadi berdosa (jatuh ke dalam dosa). Melalui peristiwa ini, Adam, manusia
pertama itu telah menyalahgunakan kehendak bebasnya dengan melanggar perintah
Allah. Pada tahapan ketiga, kehancuran manusia digambarkan sebagai akibat dari
perbuatan dosa Adam. Dalam keberdosaannya, umat manusia cenderung meniru tabiat
Adam dan melakukan tindakan-tindakan yang diwarisinya. Salah satunya mengalami
penyesatan di dalam pengaplikasian kehendak / keinginan mereka. Dan yang
keempat ialah uamt manusia secara turun-temurun lebih condong terhadap
tabiat-tabiat yang didominasi dosa. Dosa juga telah merasuk kepada relasi
solidaritas manusia sehingga manusia tidak akan pernah terhindar dari berbuat
dosa.
Demikianlah menurut pandangan tradisional bahwa dosa
warisan (asali) adalah diwariskan oleh Adam yang telah berdosa dan telah
kehilangan kemuliaan Allah. Selajutnya dosa tersebut menguasai seluruh umat
manusia karena mereka adalah keturunan Adam.
2. Penafsiran
Agama Yahudi (Pandangan Rabi)
Penafsiran para rabi Yahudi tentang kejatuhan manusia,
pada kenyataanya tidak ditemukan dalam kitab Perjanjian Lama. Meskipun demikian, diskusi-diskusi
mengenainya masih dapat dijadikan sebagai bahan acuan. Dimulai dari keputusan
Allah yang mengusir Adam dan Hawa dari Taman Eden setelah melakukan
pelanggaran, sebagai indikator mengapa anak-anak manusia berdosa. Ketidaktaatan
Adam kemudian telah menyebabkan kematian terhadap seluruh umat manusia.
Konsep tentang dosa dalam Yudaisme ditetapkan
berdasarkan hukum (nomos).
Pelanggaran setiap orang terhadap Torah disebut perbuatan dosa, karena Torah
adalah pernyataan kehendak Allah. Yudaisme juga memakai gagasan dalam
Perjanjian Lama tentang dosa sebagai suatu tindakan penghinaan terhadap Allah
sehingga mereka membuatnya sebagai suatu elemen undang-undang / hukum dalam
kehidupan sehari-harinya. Mereka juga mengakui bahwa semua manusia telah
memberontak melawan Allah sehingga semua manusia telah berdosa.
Dalam penyusunan konsep tentang konsekuensi dosa di
dalam ajaran Yahudi, terdapat dua bagian yang tampaknya bertentangan, yaitu:
(1) merendahkan status, yaitu terhadap orang-orang yang melalaikan peraturan
agama dan melakukan ajaran agama dengan cara yang tidak lazim. Mereke adalah
orang-orang yang menentang Hukum Taurat dan karena itulah mereka berdosa
sehingga statusnya menjadi lebih rendah. (2) Mengadakan pemisahan, yaitu
gagasan yang diperoleh dari Perjanjian Lama tentang pemisahan antara dosa
karena keangkuhan dan dosa karena kebodohan. Oleh karena itu, patokan dari
kadar perbuatan dosa adalah tergantung kepada pengetahuan seseorang akan Hukum
Taurat.
Ada unsur yang disebut sebagai ‘yetser hara’ yaitu sebagai unsur yang terdapat pada diri Adam sejak
masa penciptaan. [11] Unsur
itulah yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan dosa pertama kalinya. Unsur
tersebut bersifat lebih condong kepada kejahatan. Seperti yang dikutip oleh
Linwood Urban terhadap pernyataan kitab 2 Esdras (4 Ezra) disebutkan bahwa
kepada manusia, Allah telah memberikan perintah. Kemudian perintah itu
dilanggar dan akhirnya Allah menjatuhkan hukuman mati terhadap manusia dan
keturunannya.[12] Istilah ‘yetser
hara’ dipakai untuk menjelaskan bahwa benih kejahatan telah ditaburkan ke
dalam hati Adam sejak semula.
Seorang rabi Yahudi yang bernama Rabi Jochanan pernah
mengajarkan bahwa Allah telah memberikan Torah kepada setiap bangsa dan bahasa,
tetapi hukum tersbut tersebut tidak akan diterima sampai Allah kembali ke
tengah-tengah umat-Nya Israel dan mereka pun menerimanya.[13] Pada umumnya, penafsiran dan ajaran Yudaisme
terhadap dosa bisanya berkaitan dengan Hukum, hal-hal yang jahat di mata Allah
Israel, dan juga tanggung jawab manusia dalam memelihara Hukum-Nya (Yes. 33:2;
Hab. 3:3).
3. Bapa-Bapa
Gereja
Ø Ireneaus
Ia berpandangan bahwa setelah diciptakan, manusia
belumlah mengalami kedewasaan total. Sebagaimana pandangannya yang dikutip oleh
Linwood Urban[14] dari
karya Ireneaus yang berjudul Against Heresies bahwa manusia itu masih kecil.
Manusia yang adalah tuan atas bumi masih perlu bertumbuh hingga mencapai
kesempurnaannya. Kemudaan manusia itulah yang sebenarnya membuat manusia mudah
dicobai dan jatuh ke dalam dosa. Pandangan ini bersifat sangat tradisional da
karena itu sulit diterima secara umum. Hal itu dimungkinkan juga karena di
dalam Alkitab telah dicatat bahwa seluruh ciptaan Allah itu baik adanya (Kej.
1:31).
Ø Origenes
Ia memandang Allah sebagai Pencipta yang memiliki
status lebih tinggi kesempurnaan-Nya dibanding manusia yang adalah makhluk
ciptaan. Origenes menawarkan konsep pra-eksistensi jiwa dalam usaha
interprestasinya terhadap peristiwa Kejatuhan. Ia menggambarkan imajinasinya tentang kondisi dunia sebelum dan
ketika dunia diciptakan. Peristiwa kejatuhan manusia dihibungkan dengan
kejatuhan malaikat.
Sebelumnya Allah telah menyediakan kehendak bebas bagi
para malaikat, roh-roh jahat, dan jiwa-jiwa (yang akan menjadi manusia).[15]
Melaluinya malaikat mengawali kejatuhannya dengan memberontak kepada Allah
kemudian diikuti oleh roh-roh jahat sehingga Allah mengusir mereka dari surga.
Sementara itu, untuk jiwa-jiwa yang tidak begitu parah kesalahannya tapi tetap
harus dihukum. Mereka memperoleh kesempatan untuk diikatkan pada tubuh dan
ditempatkan di dunia sebagai hukuman.
Gagasan Origenes ini dapat digolongkan sebagai hasil
imajinasi tingkat tinggi. Karena pada dasarnya di dalam kesaksian iman Alkitab
dinyatakan bahwa Allah-lah yang menghembuskan nafas kehidupan kepada debu tanah
itu sehingga terjadilah kehidupan yang baru, yaitu manusia. Artinya ialah belum
ada kehidupan sebelumnya (Kej. 2:7).
Ø Athanasius
Karya Athanasius dalam hubungannya denga dosa warisan
(asali), ia pernah mengeluarkan tulisannya yang berjudul The Incarnation of the World of God.[16]
Melalui karyanya ini ia memberikan gambaran bahwa terdapat peristiwa historis
di dalam kisah Kejadian. Ia tidak menolak konsep Imago Dei. Dalam hubungannya sebagai makhluk ciptaan Allah yang
baik, manusia ditempatkan di taman sukacita yakni Taman Eden (Garden
of Deloghts).
Sepertinya perintah Allah menjadi syarat penting yang
ditawarkan kepada manusia jika ingin terhindar dari kesusahan, kesakita,
kecemasan, dan penderitaan hidup. Maksudnya ialah agar tetap beroleh hidup
kekal di surga. Syaratnya ialah manusia harus menataati peraturan yang
ditetapkan Allah. Namun, ketidaktaatan manusia telah menyebabkan kehancuran
manusia dan seluruh dunia (kosmos) ciptaan Allah. Dengan demikian, manusia
menjadi lebih condong terhadap pikiran dan perbuatan jahat (dosa).
Pandangan ini mendekati pada pemaparan teks Alkitab
tentang teologi yang disampaikan di dalam kemasan peristiwa Kejatuhan. Oleh
karena itu, pandangan Athanasius merupakan cikal bakal konstruksi doktrin bagi
gereja sesudahnya terkhusus doktrin mengenai dosa warisan paska Gereja
Mula-mula. Ketundukan, kepatuhan, dan ketaatan manusia pada dasarnya adalah
harapan manusia untuk tetap dapat mengalami kebahagiaan yang kekal bersama
Penciptanya di surga yang baka.
Ø Augustinus
Ia mengajarkan doktrin Kejatuhan dalam hubungannya
dengan dosa asali (warisan). Tujuan utamanya ialah untuk menentang ajaran
Pelagius[17] dan
para pengikutnya (Pelagianisme). Perbedaan pandangan yang sangat kontras di
antara keduanya adalah apakah dosa sebagai cacat warisan yang dapat diturunkan
Adam atau tidak.
Para pengikut Pelagius mengklaim bahwa dosa Adam hanya berpengaruh terhadap diri Adam
sendiri. Allah menciptakan setiap manusia secara langsung ketika lahir dengan
kondisi tidak bersalah, bebas dari berbagai kecenderungan berbuat salah, dan memiliki
kemampuan taat kepada Allah, seperti yang terjadi pada Adam pada mulanya. Setelah
peristiwa kejatuhan manusia, Allah hanya menuntut tanggung jawab dari manusia
atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sendiri. Mereka menegaskan bahwa satu-satunya
akibat dosa Adam kepada keturunannya ialah keteladanan yang buruk. Adam melalui
perbuatannya tidak taat kepada perintah Allah. Pada intinya menurut Pelagius,
manusia tidak berdosa sejak lahir, ketika ia melakukan dosa maka di situlah
pertama kali manusia itu berdosa. Oleh karena itu, yang ditekankan adalah
masalah tanggung jawab di dalam diri manusia.
Berbeda jauh dengan Augustinus yang pandangannya
hampir sama dengan pandangan Athanasius. Menurutnya, Adam memang memiliki apa
yang tidak dimiliki oleh manusia setelah masanya, yaitu keunggulan hikmat
tertinggi. Tetapi Adam juga sekaligus memiliki ketidaksempurnaan apapun.
Maksudnya ialah sebagai manusia pertama, Adam seharusnya memnjadi manusia yang
paling berhikmat karena masih memiliki hubungan yang baik dengan Allah. Namun
setelah itu, manusia menyalahgunakan kehendak bebasnya sehingga menyebabkan
manusia jatuh ke dalam dosa. Dengan demikian, manusia kehilangan
kesempurnaannya yang semula. Sebagai akibatnya manusia dan kosmos mengalami
berbagai kesengsaraan yang mendalam dan berakibat universal. Hal ini bagi
Augustinus bukan lagi karya Allah, tetapi sudah merupakan hasil pemberontakan
dan kejahatan manusia.
Pada intinya, Augustinus meyakini bahwa kecenderungan manusia
untuk terus melakukan perbuatan dosa adalah warisan dari dosa kejatuhan Adam
sejak manusia dilahirkan. Dengan keyakinan kuat bahwa semua manusia adalah
keturunan Adam, maka ia tiba pada kesimpulan semua manusia telah berbuat dosa. Maka
perbedaannya dengan ajarab Pelagius ialah, kondisi dan posisi manusia sejak
lahir menurut Pelagius adalah bersih adanya. Manusia bersih adanya sampai pada
ia memiliki kesadaran dalam melakukan dosa. Sedangkan Augustinus berpendapat
bahwa ketika lahir manusia sudah berdosa dan kemudian dalam pertumbuhannya di
masa depan akan terus melakukan perbuatan karena benih dosa sudah diturunkan
kepadanya sejak dilahirkan. Terhadap pandangan ini, ternyata banyak juga teolog
dan gereja yang tidak begitu setuju. Meskipun demikian, doktrin Augustinus ini
merupakan bagian dari konstruksi doktrin gereja tentang dosa paska Gereja
Mula-mula.
4. Reformasi
Ø
Martin Luther
Ia merupakan salah seorang teolog yang memiliki
pandangan yang sama dengan Augustinus. Luther menyadari bahwa dalam kejatuhan
Adam, semua manusia telah berdosa (In
Adam’s Fall We Sinned All).[18] Sebelumnya ia membagi dosa ke dalam dua jenis,
yaitu dosa asali yang diwarisi dari orangtua sejak manusia dilahirkan, dan dosa
perbuatan yang merupakan dosa karena hasil perbuatan pribadi manusia itu
sendiri. Ia menafsirkan Roma 5:14 sebagai pendukung argumennya. Dimana oleh
satu dosa Adam telah menyebabkan semua orang lahir dalam kesalahan Adam dan mewarisi perbuatan yang sama.
Dalam buku kecil mengenai Konfessi-konfessi Gereja
Lutheran[19] dinyatakan
bahwa sakit-penyakit yang dialami manusia sebenarnya adalah akibat dari
kelahiran manusia yang sudah dalam keadaan berdosa. Karena membawa hukuman
murka Allah yang kekal, maka semua orang harus dilahirkan kembali melalui baptisan
dan Roh Kudus. Unsur-usur dosa warisan (asali) adalah kekurangmampuan untuk bisa
yakin, takut, atau sayang kepada Allah, serta hawa nafsu yang memburu
kenikmatan jasmani yang berlawanan dengan Firman Allah.
Dosa warisan (peccatum
originale) dterima oleh setiap manusia sejak ia masih di kandungan ibunya
(Mzm. 51:5; Ef. 2:3). Hal ini berarti bahwa secara alami, sejak lahir manusia
telah membawa dosa masuk ke dalam dunia. Menurut Luther, dosa warisan ini-lah
yang nantinya menjadi pendorong munculnya dosa perbuatan di dalam kehidupan
setiap anak-anak manusia. Karena itu muncul pertanyaan, bagaiman jika orangtua
yang saleh dan tidak berbuat dosa lagi, apakah anak yang akan dilahirkannya
juga adalah berdosa? Untuk menjawab pertanyaan semacam ini, Luther menyediakan
jawabannya dalam hubungannya dengan baptisan sebagai tanda penerimaan Allah
terhadap keberadaan manusia apa adanya.
Ø Yohanes
Calvin
Calvin berpandangan bahwa manusia didorong oleh
keinginan yang datang dari keinginan alaminya. Menurut Calvin dosa warisan /
turunan adalah suatu kerusakan dan kebejatan kodrat manusia yang turun-temurun,
yang tersebar ke semua bagian jiwa, dan membuat kita pertama-tama layak ditimpa
kemurkaan Allah, kemudian menimbulkan dalam diri kita perbuatan-perbuatan yang
oleh Alkitab dinamakan “perbuatan-perbuatan daging”.[20]
Calvin memang berpandangan bahwa dosa merupakan hal
yang berhubungan dengan tanggung jawab manusia. Bukan hanya nafsu rendah yang
telah menggodanya sampai berbuat jahat, tetapi kefasikan yang merupakan kutukanlah
yang tekah merebut bagian terpenting dalam diri manusia yaitu benteng jiwanya
sehingga kesombongan menyusup sampai ke relung hatinya.[21]
Dengan demikian manusia selalu terdorong untuk melakukan perbutan dosa. Itulah
alasannya mengapa bagi Calvin, dosa itu sebagai keharusan yang ditanggungkan
kepada manusia sebagai bagian dari rencana Allah. Dengan demikian, Calvin
berpendapat bahwa dosa warisan tetap ada hubungannya dengan dosa Adam.
5. Paska Reformasi
Ø Karl
Rahner
Usaha memahami ‘dosa asali’ (dosa warisan) dimulai
dengan fakta bahwa manusia memiliki ‘kehendak bebas’ sebagai anugerah Allah.
Kehendak bebas yang dimaksud adalah keputusan pribadi manusia itu sendiri dalam
melakukan tindakan-tindakannya. Rahner tidak menolak historisitas dosa asali
tetapi kurang setuju dengan adanya keturunan manusia hanya dari dua orang saja.
Dosa asali menurut Rahner, tidaklah dilanjutkan begitu saja kepada
keturunannya. Hal yang mendasarinya adalah bahwa dosa asali dalam pemahaman
kekristenan tidak bertujuan untuk menunjukkan perbuatan bebas manusia
diteruskan kepada keturunan manusia sebagai ‘kualitas moral’. Kesalahan pribadi
dari kebebasan perbuatan asali tidak dapat dilimpahkan begitu saja karena dosa
asali ini merupakan sikap yang mencoba meniadakan Allah dan bahkan
menentang-Nya.[22]
Rahner juga menekankan tentang peranan Roh Kudus dan
anugerah Allah dalam peristiwa paska kejatuhan. Maksudnya ialah, kejatuhan
manusia telah menyebabkan manusia mengalami keterasingan dari kehidupan bersama
Allah. Manusia tidak mampu lagi merasakan kehadiran Allah dan juga tersingkir
dari anugerah Allah. Tanpa semuanya itu, manusia menjadi kehilangan kemampuan
untuk mengendalikan berbagai keinginan / kehendaknya. Dalam situasi seperti
inilah dirasakan pentingnya peranan Roh Kudus yang diyakini dapat menuntun
manusia dalam melakukan kehendak bebasnya sesuai dengan perintah Allah.
Dengan demikian, Rahner tiba pada kesimpulan bahwa
dalam kesalahannya, manusia sedang diperbudak. Ketika manusia mengakui
kesalahannya, itu berarti ia sedang mencoba membiarkan dirinya dilepaskan dari
perbudakan keinginanya dan disentuh oleh anugerah Allah. Pada saat seperti
inilah manusia dapat menyadari bahwa dirinya berada dalam ketidakberdayaan.
Sehingga dengan demikian, manusia dapat menaklukkan kehendaknya di bawah
kehendak Allah.
Ø R
einhold Niebuhr
Ia memulai pandangannya bahwa manusia adalah orang berdosa
(man as sinner). Baginya, peristiwa
kejatuhan bukanlah fakta historis yang nyata, melainkan sebagai gambaran
peristiwa dan kondisi manusia sepanjang zaman. Di dalamnya dipaparkan bahwa ada
banyak hal yang harus ditafsirkan dengan lebih berhati-hati agar jangan salah
interpretasi. Menurutnya, dosa tidaklah disebabkan oleh ‘pertentangan’. Maksudnya,
bukan pertetangan secara langsung dengan Allah. Manusia seharusnya diperlihatkan
jatuh ke dalam dosa karena adanya ambiguitas di dalam posisinya, yaitu kedudukannya
sebagai manusia di dunia dan situasi alaminya sejak lahir.[23]
Niebuhr tidak menolak kebenaran doktrin yang
mengajarkan bahwa dosa adalah warisan Adam. Ia memang lebif berfokus kepada egoisme kolektif maupun
egoisme individual.[24]
Maksudnya ialah sebagai manusia, terdapat unsur moral yang berkaitan erat
dengan kehendak manusia. Karena itu, manusia mencoba mengatasiya dengan ‘kuasa
keinginan’ yang melampaui batas yang ditentukan dari batas manusia sebagai
makhluk ciptaan. Dengan segala kemampuan intelektual dan adanya celah budaya (cultural lag), manusia dirasuki oleh
rasa bangga terhadap diri sendiri dan itu merupakan dosa juga. Kuatnya
keinginan dan rasa bangga diri manusia telah mengganggu keharmonisan dengan
Penciptanya maupun dengan ciptaan lainnya.[25] Beranjak
dari gagasan inilah ia menuliskan tentang dua faktor yang menyebabkan manusia
cenderung jatuh ke dalam dosa. Kedua faktor itu ialah dosa yang tidak terelakkan
sebagai manusia yang memiliki kehendak dan tanggung jawab atas dosa. Keduanya
sepertinya kontradiktif tapi juga merupakan suatu kenyataan bahwa manusia
memiliki egosentris yang tak terhindarkan, yaitu rasa cinta kepada diri
sendiri.
Niebuhr mencoba kembali kepada teks Alkitab yang memberikan
penjelasan tentang dosa dalam hubungan iman dengan moral. Dosa di dalam lingkup
iman adalah pemberontakan manusia terhadap Allah, yaitu upaya untuk merebut
posisi Allah. Sedangkan di dalam lingkup moral dan sosial, dosa adalah
ketidakadilan.[26] Niebuhr
meyakini bahwa di dalam kehidupan manusia sepanjang masa, unsur yang disebut
sebagai ‘yetser hara’ itu masih terus
memainkan peranannya. Hal itu tampak jelas dari banyaknya godaan yang menarik
manusia untuk jatuh ke dalam dosa. Historisitas kejatuhan Adam menurut Niebuhr
hanya merupakan paparan mengenai adanya kehendak / keinginan manusia yang tidak
dapat dikontrol oleh manusia sendiri sehingga akhirnya menyebabkan
pemberontakan di hadapan Allah.
IV. ANALISA
Ø
Kontradiksi
Istilah “Dosa Warisan (Asali)”
Sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya
bahwa istilah ‘dosa warisan (asali)’ muncul karena pada umumnya pandangan para
tokoh-tokoh di atas menyetujui bahwa dosa warisan mengacu pada peristiwa
Kejatuhan Adam. Mau tidak mau, bagaimana pun para teolog yang memberikan
perhatian kepada masalah ‘dosa’ harus melihat kembali historisitas peristiwa
Kejatuhan.
Istilah ‘dosa’ tidak terlalu menjadi sorotan
permasalahan karena secara merata baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian
Baru, isitilah dosa dimengerti sebagai perbuatan yang melanggar perintah
Alllah. Istilah ‘warisan’ merupakan inti permasalahannya. Pada umumnya
pandangan tradisional yang masih sederhana dan sebagian tokoh dalam masa Gereja
Mula-mula menilai istilah tersebut wajar-wajar saja. Tetapi kemudian,
tokoh-tokoh lainnya (baik teolog maupun non-teolog) mengembangkan penilaiannya
tidak hanya berkecimpung dalam lingkup spiritualitas saja.
Ada kemungkinan besar bahwa para tokoh yang menolak
dosa sebagai warisan Adam kepada keturunannya berasal dari golongan orang-orang
humanisme. Alasannya ialah ada unsur egosentris di dalamnya karena mereka
menganggap manusia memiliki kemampuan dalam menolak dosa. Hal yang mereka
soroti pada umumnya ialah soal moralitas. Jadi, istilah ‘warisan’ pada dosa bagi mereka seakan menunjukkan kelemahan dan
ketidaberdayaan manusia.
Berdasarkan penafsiran para rabi Yahudi (Agama Yahudi)
sebagai sumber informasi utama dalam hal ini, dosa adalah warisan dari manusia
pertama, yaitu Adam. Selain itu, Allah juga dikisahkan melakukan penolakan
terhadap ayah dan anaknya sekaligus karena diantaranya terdapat hubungan
keturunan. “… Ayah-ayah makan buah mentah
dan gigi anak-anaknya menjadi ngilu? Demi Aku yang hidup, demikianlah firman
Tuhan ALLAH, kamu tidak akan mengucapkan kata sindiran ini lagi di Israel.
Sungguh, semua jiwa Aku punya! Baik jiwa ayah maupun jiwa anak Aku punya! Dan
orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati” (Yeh. 18L2-4).
Martin Luther dalam interpretasinya terhadap beberapa Kitab
Perjanjian Baru, mencoba memakai analogi setiap buah menggambarkan pohonnya
yang diambil dari pernyataan Yesus dalam Lukas 6:44. Melalui suratnya kepada
jemaat Efesus, Paulus mengajarkan bahwa manusia pada hakikatnya hidup di dalam
hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikirannya yang jahat. Karena
itu harus dimurkai oleh Allah (Ef. 2:3). Yesus Kristus dalam pengajaran-Nya
mengingatkan bahwa manusia dilahirkan dari daging sehingga cenderung memiliki
sifat kedagingan. Dan sebailknya yang dilahirkan dalam Roh akan memiliki sifat
yang berasal dari Roh (Yoh. 3:6). Jadi, istilah ‘dosa warisan’ tidaklah begitu
aneh lagi karena dengan menerimanya sebagai hakikat dasar keberadaan manusia,
maka manusia semakin sadar akan kelemahan dan berserah penuh kepada kehendak
Allah.
Karl Barth menekankan bahwa pengetahuan yang
terpenting dalam menanggapi hal ini adalah pentingnya pengetahuan tentang
keselamatan yang dilakukan Anak Allah melalui peristiwa kematian dan
kebangkitan-Nya.[27] Dengan
demikian, manusia yang berada di bawah kutuk dosa mengalami keselamatan sebagai
posisi yang baru, yaitu orang-orang yang diselamatkan. Melaluinya, orang lain
(bangsa lain) juga diharapkan dapat beroleh berkat dan keselamatan.
Ø
Pandangan
Yesus tentang Dosa
Yesus memusatkan ajaran-jaran-Nya terhadap
konsep-konsep Perjanjian Lama. Salah satunya tentang dosa yang diartikan
sebagai pencemaran, kesalahan akibat pelanggaran terhadap perintah-perintah
Allah, dan penolakan manusia terhadap kasih Allah. Tidak ada kisah Kejatuhan
dibicarakan sama sekali. Yesus mengetahui keberadaan manusia yang sudah
terpisah dari Allah karena dosa. Manusia diperingatkan bahwa hati dan pikiran
manusia dapat menjadi sumber munculnya keinginan-keinginan yang jahat (Mat.
15:19). Yang paling menarik dalam hal ini adalah Yesus tidak membatasi dosa
hanya pada pelanggaran hukum saja. Justru Yesus menekankan bahwa ada hukum yang
terutama, yang olehnya manusia beroleh pengharapan untuk dapat selalu beroleh
pengampunan Allah. Intinya, dosa tidak lagi menjadi halangan untuk manusia bisa
datang kepada Allah. Karena untuk itulah Yesus Kristus datang ke dunia yang
fana, yaitu untuk melepaskan manusia dari belenggu dosa dan mengalami
rekonsiliasi dengan Allah.
V. PENUTUP
A. Refleksi Teologis
Adam dijadikan sebagai benih yang akan mengeluarkan
pohon yang besar. Tentunya keadaan benih itulah yang menentukan keadaan pohon
kelak. Kalau benihnya baik, tentu akan menjadi pohon yang baik. Setelah Adam (dan
Hawa) berbuat dosa, ia dijatuhi hukuman.
Hukuman dalam hal ini juga berarti kerusakan jwa dan tubuh manusia. Hukuman ini berdampak juga terhadap orang-orang
yang menjadi turunannya yangh juga dilahirkan dengan kerusakan jiwa dan tubuh. Hukumannya,
tidak hanya mengalami sakit dan penderitaan, melainkan juga kematian. “Kamu yang dahulu sudah mati” (Ef. 2:1).
TUHAN Allah ialah sumber yang dapat memberikan segala
sesuatu kebutuhan manusia, termasuk untuk hidup. Pada hakikatnya, manusia sudah
mengalami kerusakan, artinya manusia telah kehilangan kemuliaan yang asli yang
diberikan oleh Tuhan sejak semula (Rom. 3:23). Kerusakan warisan menjalar
dengan kelahiran manusia dari generasi ke generasi. Seperti yang dikatakan oleh
Augutinus dalam pandangannya, bahwa kerusakan di dunia bukanlah karya Allah
lagi, tetapi hasil pemberontakan manusia. Dosa bukanlah karya Allah, tetapi
dosa diteruskan oleh Kuasa Jahat (Iblis) melalui alatnya, yaitu ‘kelahiran’
(Ayb. 14:4; Yoh. 3:6).
Dosa warisan dapat menimbulkan pertanyaan tentang
keadilan Allah di dalam dunia ini (teologi keadilan). Pada hakikatya, ia adalah
Allah Yang Maha Adil dalam segala rencana dan tindakan-Nya. Itulah konsekwensi
dari posisi Adam sebagai manusia pertama yang harus berketurunan dan mewariskan
dosa karena telah jatuh ke dalam dosa. Berdasarkan Alkitab umat diajarkan bahwa
semua manusia telah mewarisi sifat berdosa (Ayub 14:4; 15:14; Mzm. 51:7; Rom.
5:12; Ef. 2:3).
Kehendak bebas manusia merupakan suatu kemampuan dari
kemauan, manusia. Melalui kehendaklah manusia dapat memilih dan menentukan
sendiri tujuan hidupnya. Manusia pada umumnya menjadi bersalah karena melakukan
tindakan-tindakan yang berdosa, namun manusia tetap menyadarinya (Mzm. 58:4; Yes. 48:8). Tidak ada orang yang dapat
diselamatkan hanya dengan melakukan perbuatan baik (Mzm. 143:2; Kis. 13:29;
Rom. 3L20; Gal. 2:16). Alkitab
menggambarkan keadaan manusia telah jatuh sebagai akibat langsung dari dosa
Adam (Rom. 5:15-19).
Dalam Teologi Penciptaan, Allah menciptakan segala
sesuatunya dalam keadaan baik adanya. Allah menciptakan manusia dengan
menjadikannya milik kepunyaan-Nya. Demikianlah Allah memilih umat-Nya Israel
sebagai milik kepunyaan-Nya dengan mengikat perjanjian dengan mereka, meskipun
mereka selalu jatuh ke dalam dosa. Meskipun sepertinya melalui peristiwa
Kejatuhan, pandangan teologi tradisional menilai bahwa Allah dan manusia tidak
ada hubungan lagi. Namun, pada kenyataannya Allah tetap berhubungan dengan
manusia. Bahkan dalam perjanjian-Nya, Allah mengikatkan diri-Nya dan memberikan
masa depan kepada manusia. Kemudian Allah melajutkan perjanjian-Nya dengan
umat-Nya (gereja) melalui karya keselamatan yang dikerjakan melalui Yesus
Kristus, Anak Allah. Tujuan-Nya ialah agar setiap orang percaya kepada-Nya tidak
binasa melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16).
Dengan demikian, dosa warisan maupun dosa perbuatan
tidak menjadi penghalang antara Allah dan manusia. Allah di dalam Yesus Kristus
telah menganugerahkan Roh Kudus kepada manusia agar manusia mampu melakukan
perintah Allah dan menolak dosa.
B. Kesimpulan
1. Istilah ‘dosa
warisan’ berasal dari pandangan tradisional yang titik berangkatnya adalah
peristiwa Kejatuhan. Kejatuhan Adam sebagai manusia pertama menyebabkan seluruh
umat manusia mendapat bagian dalam keberdosaannya. Manusia menjadi berdosa
sejak dilahirkan ke dunia, bahkan ketika dalam kandungan ibunya. Pandangan ini
juga secara umum disutujui oleh para Rabi Yahudi, para tokoh-tokoh teolog
Kristen dari zaman Bapa-Bapa Gereja Mula-mula hingga Paska Reformasi.
2. Allah menganugerahkan
kehendak bebas kepada manusia untuk dapat bertanggung jawab terhadap
perintah-perintah Allah. Melalui pertimbangan akan unsur inilah muncul
perdebatan terhadap kontradisksi dari istilah ‘dosa warisan’. Manusia dipandang
sebagai makluk yang bebas berkehendak, oleh karena itu ia pasti bisa menolak
dosa. Meskipun demikian, kebanyakan pandangan para ahli teologi mendukung bahwa
benih dosa sudah terdapat dalam diri setiap manusia sejak lahir sebagai akibat
dosa Adam. Kehendak bebas yang diberikan hanya unsur lain dari penyebab
melakukan dosa.
3. Manusia
dicobai oleh keinginannya sendiri. Demikianlah sejak semula, manusia telah
mengalami pencobaan dan akhirnya jatuh ke dalam dosa. Akibatnya ialah manusia
tersingkir dari anugerah Allah dan terpisah dari kekudusan-Nya, sebab Allah
adalah kudus. Selanjutnya, manusia lebih condong kepada perbuatan dosa.
4. Dosa
warisan tidak menjadi alasan bagi Allah berhenti dalam melakukan karyan-Nya di
dunia ciptaan-Nya. Karya keselamatan yang dianugerahkan Allah melalui
Putera-Nya Yesus Kristus merupakan kabar sukacita kepada semua manusia yang
berada di bawah kutuk dosa. Melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Allah
melanjutkan perjanjian-Nya kepada keturunan Adam, Abraham, Ishak, dan Yakub. Dosa
warisan tetap menjadi perhitungan, bukannya ditiadakan. Karena dengan demikian
manusia senantiasa mengenali dirinya sebagai ciptaan yang mengharapkan
pengampunan dari Allah. Oleh sebab itu, melalui karya keselamatan Allah di
dalam Yesus Kristus, Allah telah menganugarahkan Roh Kudus kepada setiap
manusia agar memiliki ‘hati yang takut akan Tuhan’ sehingga taat dan setia kepada
perintah Allah di dalam kasih.
“…Kita malah bermegah dalam Allah
oleh Yesus Kristus, Tuhan kita, sebab oleh Dia kita telah menerima pendamaian
itu Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang,
dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua
orang, karena semua orang telah berbuat dosa” (Rom. 5:11-12).
DAFTAR PUSTAKA
Balz., Horst (Ed.) Exegetical Dictionary of the New Testament
Vol. 3 (Michigan: Eerdmans
Publishing, 1993)
Barth, C Teologia Perjanjian Lama I (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
Bromiley, G. W. (Ed.) Church
Dogmatic by Karl Barth – The Doctrine of Reconciliation I (New York: T.
& T, Clark, 1956)
Calvin, Yohanes Instituio
– Pengajaran Agama Kristen terjemahan
J. S. Aritonang (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005)
Dahlenburg, G. D Konfesi-Konfesi
Gereja Lutheran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991)
Friedrich, Gerhard Theological
Dictionary of New Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1967)
Kittel, Gerhard Theological Dictionary of New Testament Vol.
5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1964)
Lehmann, Karl (Ed.) The
Content of Faith – The Best of Karl Rahner’s Theological Writings, (New
York: Crossroad Publishing, 1999)
Luther, Martin What
Luther Says Vol. 3 (Missouri: Concordia Publishing House, 1959)
Urban, Linwood Sejarah
Ringkas Pemikiran Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006)
Pieper, Francis Index
Christian Dogmatics Vol. IV (Missouri: Concordia Publishing House, 1957)
Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005)
_______________ Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini Jilid 1 (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1992)
[1] Gerhard
Kittel, Theological Dictionary of New
Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1964), 287
[2] Gerhard
Friedrich, Theological Dictionary of New
Testament Vol. 5 (Michigan: Eerdmans Publishing, 1967)
[3] Horst
Balz (Ed.), Exegetical Dictionary of the
New Testament Vol. 3 (Michigan:
Eerdmans Publishing, 1993), 14-15
[4] ________,
Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid 1 (Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih,
1992), 256
[5]
Francis Pieper, Index Christian Dogmatics
Vol. IV (Missour: Concordia Publishing House, 1957), 755
[7] Ibid.,
40
[8] Ibid.,
40
[9]
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 411
[10]
Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran
Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 161
[11] Linwood
Urban, op. cit., 170
[12] Ibid.,
170
[13] Gerhard
Friedrich, op. cit., 289-290
[14] Linwood
Urban, op. cit., 176
[15] Seperti
yang dipaparkan dalam buku Linwood Urban. Linwood Urban, op. cit., 176
[16]
Sebagaimana yang dikutip oleh Linwood Urban. Linwood Urban, op. cit.,
178
[17] Pelagius
ialah seorang biarawan Inggris (370 M). Ia pernah mengemukakan ajaran-ajarannya
di Roma (409 M). Namun secara kesleuruhan Konsili di Kartago pada tahun 418
menolaknya. Ajaran Pelagius umunya diterima oleh golongan antitrinitarisme
(sosianisme) dan unitarianisme.
[18] Martin
Luther, What Luther Says Vol. 3 (Missouri:
Concordia Publishing House, 1959), 1295
[19] G. D.
Dahlenburg, Konfesi-Konfesi Gereja
Lutheran (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991),
23
[20]
Yohanes Calvin (J. S. Aritonang – terj.), Instituio
– Pengajaran Agama Kristen (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2005), 60
[21] Yohanes
Calvin (J. S. Aritonang – terj.), op.
cit., 61
[22] Karl Lehmann (Ed.), The Content of Faith – The Best of Karl Rahner’s Theological Writings, (New
York: Crossroad Publishing, 1999), 528
[24] Linwood
Urban, op. cit., 189
[25] Reinhold Niebuhr, op. cit., 178
[26] Ibid.,
179
[27]
G. W. Bromiley (Ed.), Church Dogmatic by
Karl Barth – The Doctrine of Reconciliation I I (New York: T. & T, Clark, 1956), 359
No comments:
Post a Comment