Pembahasan
a.
Pelepasan Dosa dalam Perjanjian Lama
Secara umum dapat dikatakan bahwa dosa artinya kehilangan kelurusan,
pembelokan garis yang lurus atau ada kata-kata yang berarti meleset yang dalam
artian tidak mencapai apa yang dimaksud. Dosa tersebut merubah arah di dalam
hidup manusia. Manusia dijadikan Tuhan agar menjuruskan dalam kecakapannya
kepada kemuliaan Tuhan, tetapi karena dosa maka terhadap pembelokan terhadap
jurusan ini kepada diri manusia sendiri.[1]
Kejadian 3:1-7 mengisahkan tentang dosa pertama umat manusia. Sebuah
Alkitab menjelaskan kejiwaan akibat dosa harus dimulai dari jatuhnya
malapetaka. Awal dari malapetaka yang dialami oleh manusia tersebut bukanlah
berasal dari kebaikan Allah itu sendiri tetapi dari ketidakpatuhan Adam dan
Hawa. Secara spesifik dikatakan bahwa dosa mengakibatkan kekacauan jiwa
manusia. Sebagaimana pernyataan ini haruslah dikualifikasikan dari kumpulan
Alkitab bahwa seseorang menderita kejiwaan bukanlah hanya karena mereka pendosa
dab pengikut perbuatan Adam dan Hawa tetapi juga karena mereka korban dari
sebuah perbuatan dunia.[2]
Kitab PL
telah memberitakan kepada kita bahwa kefasikan bukanlah dating dari Allah. Oleh
karena itu, orang selalu dianjurkan supaya mendekati Allah (Mzm. 73:23;
119:68), sebab Tuhan Allah itu adalah Maha Adil. Tuhan Allah murka terhadap
segala dosa, baik dosa para musuh Israel
(Kel 23:22), maupun dosa Israel
itu sendiri (Yes. 63:10; Rat. 2:4`5`6`7). Secara tegas dijelaskan bahwa dosa
memisahkan Tuhan Allah daripada manusia (Yes. 59:2,3-8,16,19).[3]
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah hokum dari dosa? Pertama, maut
(Kej. 2:17), kedua, hidup manusia menjadi rusak. Apakah sampai di sini?
Merupakan suatu anugerah dari Tuhan yang telah memberikan pengampunan. Oleh
karena itu maka ada suatu bentuk pelepasan dari dosa Allah terhadap bangsa Israel.
Bersamaan dengan pelepasan dari dosa tersebut, terlebih dahulu ada pengakuan
yang menghasilkan pengampunan.[4]
b. Pelepasan Dosa dalam Perjanjian
Baru
Dalam PB sangatlah jelas diajarkan, misalnya dalam 1 Yohannes 1:5, Allah
adalah terang dan bahwa di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan. Dalam
Yohannes 8:44 Yesus mengajar dan berkata bahwa iblis adalah pembunuh manusia
sejak semula, dan bahwa mereka yang tidak dapat menangkap firman-Nya memiliki
iblis sebagai bapanya dalam artian ingin melakukan keinginan-keinginan bapanya
itu. Inilah yang dapat disebut dengan dosa. Demikian halnya dalam PB bahwa dosa
itu bukanlah berasal dari Allah. Berbicara tentang asal dosa merupakan suatu
hal yang sulit sebab dosa memang tidak mungkin diterangkan. Alkitab tidak
menerangkan dosa.
Jikalau kita mencoba untuk meneliti Alkitab dengan cermat, kita akan tahu
bahwa Alkitab tidaklah membimbing kita kepada pemecahan tentang asal dosa, akan
tetapi membimbing kita kepada “pengakuan dosa”. Dengan adanya pengakuan maka
terjadi pelepasan yang menghasilkan pengampunan. Dalam PB lebih mengarah kepada
penyelamatan dari dosa. Nama Yesus diartikan sebagai “Dia yang menyelamatkan umatNya dari dosa mereka” (Mat. 1:21). Sama
halnya dalam PL, bahwa dalam PB penyelamatan atau pelepasan dosa merupakan
suatu proses.[5]
Dalam PB ini sangatlah jelas karya
Allah yang universal, yang menguniversalkan penyelamatan/pengampunan dari
Allah. Sedangkan PL
umumnya melihat tindakan penyelamatan Allah berkaitan dengan Israel saja.
III. Pelepasan Dosa atau Pengampunan
Sebagaimana nilai dari dosa merupakan suatu hal yang menyedihkan, Alkitab
menawarkan pengharapan dan optomisme untuk menghadapinya. Inti berita Alkitab
adalah prakarsa besar ilahi dalam mengatasi dosa, yaitu rencana Allah untuk
menyelamatkan manusia yang berpusat pada Yesus Kristus. Melalui karya Yesus
Kristus maka sampai pada apa yang dikatakan dengan pelepasan dosa
(pengampunan). Kuasa rampasan dosa sudah dibinasakan melalui kehadiran Allah
melalui kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus.[6]
Yang menjadi dasar dari pengampunan dosa itu sendiri itu adalah
kematian-Nya di kayu salib (Mat. 20:28-35; 26:28). Orang yang telah diampuni
dosanya harus juga bersedia mengampuni kesalahan orang lain. Hal ini merupakan
pokok penting dalam pengajaran Yesus Kristus (Mat. 6:14-15;18:21-35; Luk.
17:3-4).[7]
Adapun kepercayaan Kristen, yang dengannya orang mempercayakan dirinya
dan seluruh eksistensinya kepada Allah sebagai suatu pengakuan akan dosa untuk
mendapat pengampunan serta pelepasan dosa dalam mencapai keselamatan. Demikian
halnya yang tertulis dalam Ibrani 10:23-25: “Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita,
sebab Ia, yang menjanjikannya, setia. Dan marilah kita saling memperhatikan
supaya kita saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik. Janganlah kita
menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh
beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat
melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
Demikian halnya menurut Marthin Luther dalam Katehismus Besarnya tentang
pengampunan akan kesalahan atau dosa. “dan ampunilah kami akan kesalahan kami,
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Dosa yang
dilakukan setiap hari, perlu diampuni setiap hari. Permohonan ini berkenan
dengan hidup kita yang malang
dan menyedihkan. Sebab, meskipun kita memiliki Firman Allah dan percaya,
melakukan apa yang Ia kehendaki, bersabar menerima apa yang Ia berikan dan
hidup dari pemberian-pemberianNya yang baik, kita tidak dapat hidup terus tanpa
berbuat dosa. Setiap hari kita masih tersandung membuat pelanggaran, Karena
kita hidup di dunia bersama-sama orang yang mengganggu kita. Akibatnya, hati
nurani kita menjadi gelisah, takut akan murka Allah dan penolakanNya, sehingga
ia tidak merasakan penghiburan dan dorongan dari kabar baik itu. Karena kita
perlu senantiasa bergegas untuk permohonan ini dan mendapat penghiburan yang
menenteramkan hati nurani kita kembali.
Bagi Marthin Luther, pelepasan atau pengampunan dosa itu hanya
didapat/diperoleh dari sakramentologi (Baptis dan Perjamuan Kudus). Hal
tersebut akan diterima oleh manusia hanya dalam empat tahap yang secara tepat
menurut pemahaman Marthi Luther itu sendiri, yakni:
ü
Solagratia
ü
Solafide
ü
Solascriptura
ü
Solus Christus
Setiap manusia memerlukan pengampunan dan hanya Dialah yang berhak
mengampuni atau memberi pelepasan dosa tersebut. Kita memohon agar Allah
berbaik hati dan memberi pengampunan. Dengan demikian maksud permohonan ini
adalah agar kita memohon kepada Allah untuyk tidak mengingat dosa-dosa kita
atau mengingat akan apa yang layak kita terima setiap hari. Hanya kemurahan
hati Allahlah yang dapat mengampuni kita sesuai dengan janjiNya sehingga kita
memiliki hati nurani yang tenteram dan tidak benar dengan Allah.[8]
Demikianlah halnya Allah yang mengampuni dan kita juga mengampuni.
Pengampunan bukan hanya dari Allah sendiri akan tetapi karena Allah telah
dahulu mengampuni maka manusia juga harus saling mengampuni. Allah menyuruh
kita mengampuni justru untuk menguatkan dan meyakinkan kita, sebagai suatu
tanda bersama dengan janji yang mengatakan hal yang sama seperti doa ini dalam
Lukas 6:37: “Ampunilah dan kamu akan diampuni”. Itu sebabnya Kristus mengulangi
janji ini segera setelah Doa Bapa Kami dalam Matius 6:14: “Jikalau kamu
mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di Sorga akan mengampuni kamu juga”
dst.[9]
Dan yang jelas, hanya oleh karena Anugerah, Iman, Alkitab dan Kristuslah
manusia itu diampuni. Itulah yang menjadi pemahaman pengajaran dari Marthin
Luther. Tanda ini dapat melakukan juga apa yang dapat dilakukan oleh Baptisan
dan Perjamuan Kudus yang telah ditetapkan sebagai tanda-tanda lahiriah. Tanda
ini membuat kita teguh dan tenteram dalam hati nurani kita. Dan kita telah
diberi hak istimewa memanfaatkan dan memakainya setiap saat, karena tanda
itulah ada pada kita senantiasa.
IV. Pandangan Dogmatis
Alkitab berbicara tentang penyelamatan atau pengampunan. Adanya
penyelamatan tersebut sebagai subyeknya adalah Allah sendiri. Hal ini dapat
kita lihat dalam Yes. 43:11 yang mengatakan:
“Aku, Akulah Tuhan (YHWH) dan tidak ada juruselamat selain dari padaKu”. Dari
semua karya Allah tersebut, secara khusus mengenai penyelamatan melalui
pengampunan berdasarkan pada kasih setia Tuhan Allah. Kasih Allah ialah sikap
(hati) yang tanpa syarat apapun terhadap umat, yang mana pihak lain tersebut
selalu diutamakan dari segala sesuatu. Kasih tersebut telah Nampak dalam PL,
pemilihan Allah terhadap bangsa Israel.
Kasih setia tersebut berlangsung berkaitan dengan kebenaran Tuhan.
V. Kesimpulan
Pengampunan Tuhan untuk mencapai
keselamatan manusia dari belenggu dosa sepanjang sejarah berurat berakar dalam
kasih karunia/rahmat Allah yaitu suatu sikap nyata yang mencakup:
§
Kasih
§
Belas kasihan/kerelaan
§
Kesetiaan dalam kebenaran
Perlu diketahui baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang banyak
berbicara tentang dosa tidak pernah menyajikan suatu teologi tentang dosa.
Tidak ada ulasan-ulasan teoritis mengenai gejala-gejala yang disebut tentang
dosa, dan meskipun tidak ada sebuah teologi lengkap tentang dosa, namun dalam
cerita-cerita Alkitab serta hokum-hukum yang bersangkutan dengan gejalan dosa,
banyak pemahaman yang ambigu tentang dosa.
Daftar Pustaka
Benner David
G,
1985 Baker Encyclopedia of Psychology, (Baker
Book House Company)
Charles
Ryrie C,
1992 Teologi Dasar, (Yogyakarta:
Yayasan Andi)
Elwell
Walter A,
1984 Evangelical Dictionary of Theology, (Michigan: Baker Book House Grand Rapids)
Groenen C,
1994 Soteriologi Alkitabiah: Keselamatan yang
Diberitakan Alkitab, (Yogyakarta:
Kanisius)
Hadiwijono
Harun,
2006 Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM)
Soedarmo R,
1985 Ikhtisar Dogmatika, (Jakarta: BPK-GM)
---------------------,
2007 Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, (Jakarta: YKBK/OMF)
[1] Walter
A. Elwell, Evangelical Dictionary of
Theology, (Michigan: Baker Book House Grand Rapids, 1984), 1013.
[2] David G.
Benner, Baker Encyclopedia of
Psychology, (Baker Book House Company: 1985), 1083.
[3] Harun
Hadiwijono, Iman Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2006),
227-228.
[4] R.
Soedarmo, Ikhtisar Dogmatika,
(Jakarta: BPK-GM, 1985), 127-128.
[5] C.
Groenen, Soteriologi Alkitabiah:
Keselamatan yang Diberitakan Alkitab, (Yogyakarta: Kanisius, 1994),
139-140.
[6]
---------, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini
Jilid I, (Jakarta:
YKBK/OMF, 2007), 260.
[7] Charles
C. Ryrie, Teologi Dasar, (Yogyakarta:
Yayasan Andi, 1992), 294.
[8] Marthin
Luther, Katehismus Besar, (Jakarta: BPK-Gunung
Mulia, 2007), 170-171.
[9] Ibid.172.
No comments:
Post a Comment