Ku perhatikan anakku Rokiel yang
tertidur lelap di peraduannya. Usianya masih menghitung hari. Aku hanya
tersenyum pedih karena berhasil meloloskannya untuk hidup di dunia. Untuk sejuta penyesalan yang ada. Untuk beribu
penolakan dan penghinaan dari masyarakat yang membawa bendera norma.
“bagaimana ini kiel? Ayahmu telah
tiada” bisikku dari pembaringan. Tubuh lemahku tidak sanggup untuk berdiri
paska melahirkan.
“ayah? Ayahnya yang mana?” suara
sumbang dari belakangku berbisik perlahan. Kiel masih tertidur dengan begitu
lelap. Mari anakku, bertumbuhlah. Sekarang dunia ini milikmu.
“ha ha ha, perempuan kotor, anakmu
haram jadah, tidak layak untuk hidup” suara sumbang itu semakin jelas
merobohkan hatiku.
Air mataku tak sanggup ku tahan,
pelipis ku yang masih lebam terkena lemparan batu beberapa hari yang lalu. Oh
Rokielku, bertahanlah nak. Mari bersama bunda menghadapi dunia.
“Bertahan Mouna, bertahanlah. Aku
menggenggam tanganmu” suara Ikhsar menggema dikalbuku. Ikhsar, kekasihku
mengapa engkau meninggalkan aku? Mengapa engkau pergi tanpa seizinku. Napasku
tertahan. Tidak sanggup melawan perih di hati.
“Anakku, mouna, oh malangnya nasib
kita. Ikhsar telah berpulang, dia di massa” ibunda memelukku, putrinya yang
hina dan terhina ini. Oh ikhsarku, sudah tidur dalam buana surga, sudah bahagia
ia, meninggalkan pertarungan ini.
Aku teringat ketika dibawah air
terjun pelangi, dia mengecup keningku mesra dan menggenggam tanganku meyakinkan
hatiku untuk memperjuangkan Rokiel. Mempertahankan Rokiel, meskipun Rokiel
bukan anak dari benihnya, meskipun ia tahu gadis kecintaannya ini telah ternoda
oleh bejatnya Rudo, anak kepala desa yang memperdayaiku.
“ayo, kita harus segera bergerak
anakku, sebelum kita di amuk massa!!!”
“apa salahku bunda? Apa salah rokiel?”
“tidak ada yang salah anakku, hanya
saja waktu sedang tidak berpihak pada kita. Ayo kita selamatkan Rokiel”.
Tubuhku masih lemas tidak mampu
melangkah. Aku memberikan Rokiel yang tengah terlelap ke pelukan neneknya. Aku mengingat
kembali bagaimana mahluk kecil ini muncul di rahimku, di masa mudaku sebagai
bunga desa yang menjadi rebutan hati tiap pemuda. Kenaifan menjadi sumber
bencana tatkala Rudo dengan kekuasaannya memanipulasi kasus yang
mengkambinghitamkan Ikhsar kacungnya, sebagai orang yang harus bertanggungjawab
atas perbuatannya padaku.
“Aku harus membunuh rudo” geram
ayahku, setelah mengetahui semua fakta yang terjadi. 6 bulan kehamilanku,
Ikhsar suamiku telah kehilangan dua pasang giginya untuk menanggung kesalahan
yang bukan dosanya. Tapi ia tetap tangguh, untuk mempertahankan satu kehidupan. Mempertahankan Rokiel. Ia memberi
nama itu, Artinya “Sang Pejuang”.
“ku mohon ayah, jangan” tangisku
tidak lagi mampu menahan ayah. Karena melawan rudo adalah bayang-bayang maut
dan hari esoknya, aku hanya melihat kepala ayah yang tergantung, dan aku
menyesali takdirku.
“ayahmu adalah Yedrin (keturunan
raja) yang terakhir, dan kamu harus tahu mouna, kematian abangmu Liyan juga
tidak lepas dari perbuatan jahanam kepala desa. Mengakhiri garis budaya suku
kita yang telah diambil alih oleh administrasi Negara”. Ibuku berkata, berusaha
tegar.
“dan karena kepala desa tidak tahu,
bahwa Rokiel adalah anak darah bengis rudo sehingga mengusahakan kematian anak
ini menganggapnya sebagai ancaman terhadap tahtanya, dia mengangkat isu bahwa
ayahmu sendirilah yang menghamilimu, sementara rudo telah kehilangan
kewarasannya setelah memenggal ayahmu, dia dipasung”.
“berapa nyawa lagi yang harus
dikorbankan?” tanyaku pada bunda. Tidak beroleh jawaban.
“ayo!!!” dengan lengan kirinya yang
kuat bunda memapahku dan rokiel digendongnya. Ia masih tertidur lelap. Lihatlah,
betapa baiknya anakku. Rembulan malam ini menyinari jalan kami,meninggalkan
gubuk derita meninggalkan negeri ini. Namun di tengah jalan belum jauh dari
gubuk aku tersungkur lemah.
“Bunda, aku tidak sanggup lagi” aku
bersuara lemah.
Dari kejauhan telah terdengar
seruan-seruan dan nyala obor yang ramai. Malam ini adalah rencana penduduk
untuk membakar kami. Ibu telah lebih dahulu mengetahuinya dari Ori, salah satu
budak kepala desa.
“Mouna, kuatkan tekatmu nak. Mari kita
segera pergi”
“Ibunda, bawalah anakku ke negeri
Timur, dari sana akan datang cahaya” ku tatap penuh keyakinan sepasang mata
bunda yang sembab airmata, meyakinkannya. Lantas aku berbalik, merayap menuju
gubuk deritaku.
“Mouna putriku, Oh Tuhan,
Terkutuklah Negeri ini. Terkutuklah para pembunuh bengis” ibuku meraung-raung
dan Rokiel terbangun, ikut menangis bersama neneknya.
Aku merayap karena kakiku lemah,
merayap sambil meratapi tanah kelahiranku yang telah beraroma darah. Kecantikanku
dan status darah biru keluargaku ku anggap telah menjadi bencana.
“Mouna Putriku, ingatlah. Rokiel
akan kembali untuk membantai negeri ini” bunda telah sampai di pebukitan dan
bersorak dari sana.
Seketika, Gubuk kami telah terbakar
membara. Prajurit abdi kepala desa mengejar Rokiel dan neneknya.
“cepat, tangkap mereka. 10 batang
emas bagi yang membawa kepala mereka kembali” suara bengis itu begitu dekat di
telingaku. Dalam posisi tengkurap aku menatap keatas, ingin memberikan tatapan
paling keji yang pernah ada kepada Iblis itu.
Namun yang kuterima adalah sebuah
jambakan keras dan pukulan keras di tengkukku. Lantas semua menjadi hitam.
Begitu Hitam.
Mardaup.J
No comments:
Post a Comment