Tuesday, March 13, 2018

ROKIEL (Di Timur Cahaya)



               
            

            Ku perhatikan anakku Rokiel yang tertidur lelap di peraduannya. Usianya masih menghitung hari. Aku hanya tersenyum pedih karena berhasil meloloskannya untuk hidup di dunia. Untuk  sejuta penyesalan yang ada. Untuk beribu penolakan dan penghinaan dari masyarakat yang membawa bendera norma.
            “bagaimana ini kiel? Ayahmu telah tiada” bisikku dari pembaringan. Tubuh lemahku tidak sanggup untuk berdiri paska melahirkan.
            “ayah? Ayahnya yang mana?” suara sumbang dari belakangku berbisik perlahan. Kiel masih tertidur dengan begitu lelap. Mari anakku, bertumbuhlah. Sekarang dunia ini milikmu.
            “ha ha ha, perempuan kotor, anakmu haram jadah, tidak layak untuk hidup” suara sumbang itu semakin jelas merobohkan hatiku.
            Air mataku tak sanggup ku tahan, pelipis ku yang masih lebam terkena lemparan batu beberapa hari yang lalu. Oh Rokielku, bertahanlah nak. Mari bersama bunda menghadapi dunia.
            “Bertahan Mouna, bertahanlah. Aku menggenggam tanganmu” suara Ikhsar menggema dikalbuku. Ikhsar, kekasihku mengapa engkau meninggalkan aku? Mengapa engkau pergi tanpa seizinku. Napasku tertahan. Tidak sanggup melawan perih di hati.
            “Anakku, mouna, oh malangnya nasib kita. Ikhsar telah berpulang, dia di massa” ibunda memelukku, putrinya yang hina dan terhina ini. Oh ikhsarku, sudah tidur dalam buana surga, sudah bahagia ia, meninggalkan pertarungan ini.
            Aku teringat ketika dibawah air terjun pelangi, dia mengecup keningku mesra dan menggenggam tanganku meyakinkan hatiku untuk memperjuangkan Rokiel. Mempertahankan Rokiel, meskipun Rokiel bukan anak dari benihnya, meskipun ia tahu gadis kecintaannya ini telah ternoda oleh bejatnya Rudo, anak kepala desa yang memperdayaiku.
            “ayo, kita harus segera bergerak anakku, sebelum kita di amuk massa!!!”
            “apa salahku bunda? Apa salah rokiel?”
            “tidak ada yang salah anakku, hanya saja waktu sedang tidak berpihak pada kita. Ayo kita selamatkan Rokiel”.
            Tubuhku masih lemas tidak mampu melangkah. Aku memberikan Rokiel yang tengah terlelap ke pelukan neneknya. Aku mengingat kembali bagaimana mahluk kecil ini muncul di rahimku, di masa mudaku sebagai bunga desa yang menjadi rebutan hati tiap pemuda. Kenaifan menjadi sumber bencana tatkala Rudo dengan kekuasaannya memanipulasi kasus yang mengkambinghitamkan Ikhsar kacungnya, sebagai orang yang harus bertanggungjawab atas perbuatannya padaku.
            “Aku harus membunuh rudo” geram ayahku, setelah mengetahui semua fakta yang terjadi. 6 bulan kehamilanku, Ikhsar suamiku telah kehilangan dua pasang giginya untuk menanggung kesalahan yang bukan dosanya. Tapi ia tetap tangguh, untuk mempertahankan  satu kehidupan. Mempertahankan Rokiel. Ia memberi nama itu, Artinya “Sang Pejuang”.
            “ku mohon ayah, jangan” tangisku tidak lagi mampu menahan ayah. Karena melawan rudo adalah bayang-bayang maut dan hari esoknya, aku hanya melihat kepala ayah yang tergantung, dan aku menyesali takdirku.
            “ayahmu adalah Yedrin (keturunan raja) yang terakhir, dan kamu harus tahu mouna, kematian abangmu Liyan juga tidak lepas dari perbuatan jahanam kepala desa. Mengakhiri garis budaya suku kita yang telah diambil alih oleh administrasi Negara”. Ibuku berkata, berusaha tegar.
            “dan karena kepala desa tidak tahu, bahwa Rokiel adalah anak darah bengis rudo sehingga mengusahakan kematian anak ini menganggapnya sebagai ancaman terhadap tahtanya, dia mengangkat isu bahwa ayahmu sendirilah yang menghamilimu, sementara rudo telah kehilangan kewarasannya setelah memenggal ayahmu, dia dipasung”.  
            “berapa nyawa lagi yang harus dikorbankan?” tanyaku pada bunda. Tidak beroleh jawaban.
            “ayo!!!” dengan lengan kirinya yang kuat bunda memapahku dan rokiel digendongnya. Ia masih tertidur lelap. Lihatlah, betapa baiknya anakku. Rembulan malam ini menyinari jalan kami,meninggalkan gubuk derita meninggalkan negeri ini. Namun di tengah jalan belum jauh dari gubuk aku tersungkur lemah.
            “Bunda, aku tidak sanggup lagi” aku bersuara lemah.
            Dari kejauhan telah terdengar seruan-seruan dan nyala obor yang ramai. Malam ini adalah rencana penduduk untuk membakar kami. Ibu telah lebih dahulu mengetahuinya dari Ori, salah satu budak kepala desa.
            “Mouna, kuatkan tekatmu nak. Mari kita segera pergi”
            “Ibunda, bawalah anakku ke negeri Timur, dari sana akan datang cahaya” ku tatap penuh keyakinan sepasang mata bunda yang sembab airmata, meyakinkannya. Lantas aku berbalik, merayap menuju gubuk deritaku.
            “Mouna putriku, Oh Tuhan, Terkutuklah Negeri ini. Terkutuklah para pembunuh bengis” ibuku meraung-raung dan Rokiel terbangun, ikut menangis bersama neneknya.
            Aku merayap karena kakiku lemah, merayap sambil meratapi tanah kelahiranku yang telah beraroma darah. Kecantikanku dan status darah biru keluargaku ku anggap telah menjadi bencana.
            “Mouna Putriku, ingatlah. Rokiel akan kembali untuk membantai negeri ini” bunda telah sampai di pebukitan dan bersorak dari sana.
            Seketika, Gubuk kami telah terbakar membara. Prajurit abdi kepala desa mengejar Rokiel dan neneknya.
            “cepat, tangkap mereka. 10 batang emas bagi yang membawa kepala mereka kembali” suara bengis itu begitu dekat di telingaku. Dalam posisi tengkurap aku menatap keatas, ingin memberikan tatapan paling keji yang pernah ada kepada Iblis itu.
            Namun yang kuterima adalah sebuah jambakan keras dan pukulan keras di tengkukku. Lantas semua menjadi hitam. Begitu Hitam.

Mardaup.J


No comments:

Post a Comment