Wednesday, March 7, 2018

DIAMONA



Diamona.
Oleh : Jepri Simanjuntak

                Langkah kaki itu beriringan berjalan cepat menuju gereja, tatkala rintik hujan memaksa diri untuk mempercepat jalan agar tidak basah terkena air hujan. Malam ini sepertinya banyak pendatang baru, wajar karena ini adalah awal semester. ku ambil payung hijauku dari lemari asrama, begitu ku lebarkan  payungku di depan pintu asrama, abunya beterbangan. Lantas aku terbersin-bersin. Kesal dengan payung yang sudah terlalu lama beristirahat di lemari.
                Lalu aku berangkat menuju gereja, 100 meter jaraknya dari asrama. Amang guru yang memimpin ibadah PA malam ini, biasanya sesudah PA akan diadakan latihan Koor Naposo, tetapi malam ini karena banyak pendatang baru maka diadakan sesi perkenalan sebelum dibagikan partitur koor. Rupanya ada sekitar 20an anak baru yang masuk Naposo gereja ini. Bosan dengan situasi, aku keluar sebentar dan menyulut rokok sampoerna kesukaanku di iringi hujan yang sejuk malam ini.
                Tidak lama kemudian sesi perkenalan selesai, namun naposo yang tergolong skuad lama menuntut untuk bersantai dulu malam ini dengan obrolan ringan tanpa harus bergelut dengan partitur koor yang cenderung membuat bosan. Amang guru sepertinya mau tak mau harus setuju.  Bisik-bisik mulai tersebar dengan adanya pesona baru yang hadir malam ini. Malam minggu ini mungkin serasa sial bagi para pasangan diluar sana karena hujan yang mengganggu suasana, namun di gereja ini para pemuda yang tengah dalam masa puber ini merasa beruntung dengan hadirnya pesona-pesona baru. Hanya menunggu waktu, mungkin 1 bulan atau 2 bulan kemudian akan ada pasangan-pasangan baru.
                Selalu begitu, dua tahun terlibat dalam komunitas ini sering hanya membuatku tersenyum risih. Semua terlihat seperti semu dan romantisme yang dibingkai oleh PA dan latihan Koor. Merasa terasing, lalu diasingkan hingga kemudian asik sendiri, aku tidak terlalu peduli lagi dengan sekitarku. Mungkin saja hingga detik ini, hanya sendiriku yang jomblo, kalaupun ada yang belum pacaran minimal pasti lagi pedekate. Magnet antara dua jenis yang berbeda ini begitu kuat ditempat ini, mungkin Tuhan menempatkan Santo Valentinus sebagai pelindung tempat ibadah ini.
                Hanya sebentar gabung ke dalam ruangan gereja, tak lama kemudian aku melangkah keluar. Mereka sibuk dengan percakapan masing-masing, dalam beberapa kelompok cerita yang terpisah-pisah. Ku lanjutkan kemesraanku dengan sampoernaku sampai kemudian ada suara yang tiba-tiba menyapa dari belakangku.
                “sendirian?”
                “iya, seperti yang kau lihat”
                “Mona”  dia mengulurkan tangannya, “Diamona” katanya kemudian.
                “Diamona?, Mungkinkah berlian? “
                “iya” dia tersenyum.
                Lalu tanpa sungkan dia duduk disampingku. Langsung ku buang rokokku ke genangan air hujan.
                “Namamu?”
                “pentingkah?”
                “ngga adil dong, cuman aku yang ngenalin diri”
                “lah, yang nyuruh kenalan siapa?”
                “ngga ada yang nyuruh sih”
                “Jerikho, biasa dipanggil Jeri” tandasku.
                “Jeri sudah lama gabung naposo disini?”
                “sudah”
                “kok ngga gabung sama yang lain?”
                “bosan aja”.
                “jeri, boleh pinjam payungmu?”
                “Kemana?”
                “Minimarket, mau beli obat! Maagku kambuh”.
                Sedikit rasa sesal ada di hati, aku tahu dia memang cantik namun dia mendekatiku dengan tujuan meminjam payung yang mungkin sudah dilihatnya dari tadi.
                “memangnya kamu ngga bawa payung?”
                “bawa sih, tapi payungmu warnanya biru”
                “lah, warna kok jadi alasan. Biru kenapa?”
                “mau nya minjamkan? Klo ngga bisa ngga apa-apa kok Jer!”
                Sedikit kesal dengan tingkahnya yang seolah sudah lama mengenal, ku berikan payung biru itu kepadanya.
                “ada kawanmu jalan kesana?”
                “ngga!”
                “ku kawani yah”
                “ngga usah, kamu disini aja, hujan deras!”
                Tidak mau memaksa, sepertinya dia juga tidak mau ditemani. Akhirnya aku duduk kembali di bangku yang disandarkan ke kaki lima gereja. Ku lihat ia berjalan menembus derasnya hujan. Ku sulut kembali rokokku, lumayan sebatang lagi pikirku sembari Menikmati malam minggu.
                30 menit telah berlalu, angan-anganku menjalar entah kemana. Diamona belum juga kembali padahal jarak Minimarket ke gereja paling hanya sekitar 200 meter, hujan telah reda digantikan gerimis tipis dan embun yang menutupi kota. Ku perhatikan jam ditanganku. 21.27 WIB. Seketika terdengar suara teriakan keras dari arah jalan raya, beramai-ramai orang bergerak kesana ingin melihat apa yang tengah terjadi. Kepanikan mencekam. Lantas karena penasaran para pemuda gereja bergerak menuju kesana. Aku pun segera bangkit dan ikut melihat, menduga-duga bahwa telah terjadi kecelakaan.
                “ya Tuhan, itu Diamona” salah satu perempuan berteriak histeris.
                “Ya Tuhan” seketika semua Naposo terkejut setengah mati. Baru Satu jam yang lalu gadis cantik ini memperkenalkan diri sesiap ibadah dan 30 menit yang lalu dia masih berbincang denganku. Aku berdiri mematung, seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat didepan mata dan aku gemetar, jalan raya di depan minimarket itu bersimbah darah dan payung biru itu tercampak ke sudut jalan. Aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak.  Kepalanya mengucurkan banyak darah, Sesaat sebelum diangkat masuk ke Ambulance, aku melihat Bungkusan kecil bertuliskan Diamond terjatuh dari tangannya.
 3 minggu kemudian
                “hai diamon!” ku sapa tempat kediamannya meskipun aku tahu tidak ada jawaban.
                “hari ini kubawa padamu sebuah hadiah, ini payung biru yang kau pinjam kemarin. Mulai hari ini, payung ini sah milikmu, dan coba tebak, aku bawa eskrim Diamond, kudengar ini eskrim kesukaanmu”
                Airmataku mengalir. Aku menangis. Kami hanya 10 menit mengobrol dan aku sungguh menyesal bertingkah cuek. Ku harap ia menerima eskrim pemberianku. Ku usap salib berukirkan namanya. Dia memang berlian. Sejak saat itu, aku tidak lagi merokok.

No comments:

Post a Comment