Monday, February 26, 2018

MANTAN 1996




Aku hanya tertegun dalam anganku, mengingat dia setelah tahun berganti tahun. Ada senyum tulus  yang kemudian mengajakku bermimpi. Mungkin bersama dia bukanlah waktu-waktu yang terbaik dalam hidupku namun satu hal yang pasti, aku tidak pernah bisa melupakannya.
            “Mira, Mira”
            Kurasakan tangan kekar  menggenggam tanganku. itu victor, suamiku. Jika ditanya bagaimana perasaanku, ya aku sangat nyaman  tapi  suasananya berbeda ketika tangan yang lebih mungil  dan lembut dulu menggenggam tanganku. Rasanya sangat berbeda, namun ironisnya aku samasekali tidak berani  memberi komentar tentang  apa yang sebenarnya hatiku rasakan.
            “Mira, kok menghayal Sayang?”
            “ah, ngga apa-apa kok vi, tiba-tiba aja aku teringat mama” aku berbohong
            “jangan sedih sayang, yakinlah mama pasti sembuh kok, cuman demam biasa nya mama” ujarnya menghiburku.
            Kami bersama-sama menikmati suasana mentari terbenam di tepi pantai . Sesungguhnya ini adalah liburan yang menyenangkan di Sibolga tepat satu tahun setelah pernikahan kami. Kami sama-sama bahagia menjalani rumah tangga. Kami telah lama merencanakan perjalanan ini, karena tidak ada bulan madu setelah pernikahan kami. Victor adalah seorang abdi Negara yang harus siap bertugas di lembaga pemasyarakatan, sementara aku adalah seorang guru honorer. Oleh karena karir kami, kami harus saling menyemangati dan memaklumi. Itulah tugas suami istri.
            Namun, suasana hatiku terganggu ketika hujan kemarin sore. Saat itu, mobil kami mogok hingga terpaksa naik angkutan kota menuju Hotel tempat kami menginap sementara victor sudah menghubungi bengkel terdekat untuk mengurus mobil kami.
            Dalam situasi yang agak remang karena hujan yang turun begitu deras, aku tidak terlalu memperhatikan penumpang yang lain selain memegang tangan suamiku dan menghangatkan diri pada badannya yang jangkung. Angkutan itu berhenti, dan seorang ibu yang kehujanan bersama anaknya yang menangis kedinginan di gendongan, mereka naik ke angkot. Umur anak itu mungkin saja masih satu tahun. Mereka basah kuyup, sementara pintu samping angkot itu tidak bisa ditutup. Percikan air hujan merembes masuk.saat itu aku iba dan berpikir betapa bodohnya tadi aku tak membawa payung.
            Tangisan anak itu membahana, namun kalah oleh petir dan hujan deras. Sementara ibu itu duduk menghadap langsung ke pintu angkot yang terbuka. Tak ada yang rela menukarkan tempat duduk. Sementara aku iba, namun tak berniat berbuat karena takut jauh dari suamiku di situasi seperti ini.
            “anak ibu demam” suara seorang pria yang duduk disebelah victor. Rupanya pria itu menompangkan tangannya ke kepala anak itu memeriksa kondisi si anak.
            “iya amang, sebenarnya tadi mau berobat tapi karena panik saya lupa membawa payung”
            “lae, boleh pinjam payungnya” pria itu meminta kepada seorang lelaki di sudut angkot yang yang kelihatannya dari tadi lebih memilih untuk tidak perduli.
            “oh, ini lae” sodornya
            Pria mungil itu membuka payung lebar itu di dalam angkot, sembari meminta maaf kepada penumpang lainnya. Sesaat suara celoteh tanda protes terdengar, namun setelah tahu apa yang diperbuat pria itu semuanya terdiam membisu. Pria itu menggunakan payung sebagai penahan percikan air hujan yang masuk ke angkot.. anak dan ibu itu pun terlindungi. Beruntungnya si anak mulai terdiam, mungkin karena sudah kelelahan. Nampaknya ia mulai tertidur di pangkuan bundanya yang lembab.
            Sang ibu pun menyuruh angkot berhenti, tanda sudah sampai. Kemudian pria itu turun setelah lebih dahulu membenahi payung dan memberikannya kepada lelaki disudut angkot yang ternyata tak terbuka juga nuraninya untuk memberi. Pria itu membuka jaket hitamnya dan melindungi ibu dan anak itu lantas menerobos hujan yang deras. Begitu heroik. Sempat kulihat tatapannya yang teduh dan brewok di wajahnya yang tercukur rapi, mimiknya sendu dan aku merasa familiar. Rasanya aku mengenal dia.
            Aku hanya melihat ketidakpedulian di wajah victor dan juga merasakan malu di hatiku. Mungkin karena kami hanya orang asing di tempat ini, hanya wisatawan yang berlibur sehingga menjadi suatu batasan untuk berbuat sesuatu yang baik.
            “Besok kita ibadah ke gereja yah”
            Suara victor menyadarkanku dari lamunan, kembali ke pantai indah ini
            “Iya sayang” sambutku sambil mendekapnya, suamiku tercinta. Ini yang selalu aku suka dari suamiku. Dia bilang Jika di gereja dia akan selalu mengingat kembali bagaimana saat pertama ia bertemu denganku dulu.
            Malam berlalu, kami meleawatinya dalam pelukan cinta.
            Selepas ibadah minggu, aku dan victor  bergegas ke ruang konsistori gereja. Aku tidak pernah menduga jika pria yang menolong ibu dan anak di angkot itu adalah pria yang juga berkhotbah pagi ini di gereja serta mengisahkan sebuah ilustrasi yang sangat mencelikkan hati. Ia menyebutkan “angkot yang tidak peduli”. Dan aku juga tidak menyangka bahwa anak di pangkuan ibu itu meninggal semalam karena demam tinggi, diumumkan di acara Tingting (pengumuman).
            Namun apa yang kucari dan ingin ku pastikan tidak kudapati disana. Lantas aku bertanya kepada salah satu penatua  gereja tepat sebelum masuk ke ruang konsistori.
            “amang, mohon waktunya sebentar”
            “iya inang, ada yang bisa saya bantu?
            “kami mencari amang pendeta”
            “oh, amang pendeta berkunjung ke makam yefta, yang baru dimakamkan tadi pagi”
            “Yefta?” aku terheran. Dalam pikiranku muncul rasa penasaran.
            “iya inang, anak ini memang kebetulan sama namanya dengan pendeta kita . Kalau boleh tahu inang dan amang orang mana? Bukan jemaat gereja ini kan?”
            “Iya amang, kami hanya wisatawan. Hanya saja ada keperluan dengan amang Pendeta” ujar victor.
            “oh kalo begitu, orang amang sama inang ke sana saja, pemakaman itu dekat dari sini”
            Setelah mengucapkan terimakasih, kami pun berangkat menuju pemakaman sesuai petunjuk amang penatua itu. Tidak lama kami kemudian kami menemukan tempat pemakaman umum tersebut.
            “sayang, kamu tidak ikut” tanyaku kepada suamiku, setelah aku turun dari mobil dan kulihat dia tak ikut beranjak dari setirnya.
            “lebih baik aku mengopi dulu ke kedai terdekat. Jumpailah dia” katanya.
            “kamu yakin?” aku berusaha memastikan.
            “kamu istriku!, telpon aku nanti kalau sudah selesai” ucapnya sambil menutup kaca mobil. Perlahan mobil pun melaju.
            Kemudian ku langkahkan kakiku, meyakinkan niatku untuk menjumpainya. Ku telusuri jalan setapak diantara pekuburan yang masih jarang, belum terlalu padat. Samar-samar dari jauh ku lihat dia, sendirian. duduk tertunduk sepertinya tengah berdoa, menghadap kuburan yang masih baru. Mungkin itu kuburan Yefta, bayi yang meninggal kemarin. Dalam hatiku mulai yakin, benar itu dia; Yeftaku, kekasihku. Sekarang sesuai citanya yang dulu, sudah menjadi pendeta. Hanya saja aku tidak mengenalnya karena brewoknya yang sudah tumbuh, dulu wajahnya begitu bersih. Oh Tuhan, betapa hatiku bersyukur. Namun langkahku tertahan. Sepertinya ia telah siap berdoa.
            Aku lantas bersembunyi di balik sebuah pohon beringin muda yang rindang. Perlahan ku dengar langkah kakinya mendekat berjalan menuju ke arahku. “Oh Tuhan, apakah ia melihatku?”. Aku meringkuk di balik pohon. Jantungku berdebar kencang, sangat kencang. Ku tahan napasku, keringat dinginku mulai muncul.
            Dengan jelas ku dengar ia, pendeta itu menangis sesenggukan sambil menariki akar beringin dibalik persembunyianku. Sepertinya ia mencari sesuatu. Aku lega, ternyata aku tidak terciduk. Aku pun merasa malu mengapa harus berperan seperti mata-mata.
            Tidak lama kemudian, sesenggukan itu berubah menjadi tangisan yang menyedihkan. Begitu jelas ku dengar. Dan suara tangis itu sangat ku kenal. Tangisan yang pernah berhenti dalam bujukanku, tangisan yang pernah berhenti dalam dekapanku. Ohh yeftaku, hatimu masih tidak bisa menyembunyikan kelembutannya. Ku rasakan air mataku ikut menetes, menyatu dalam kesedihannya. Ia tidak mengucap kata. Hanya menangis saja.
            Beberapa waktu kemudian, suara tangis Yefta makin pelan hingga kemudian  menghilang. Aku bangkit dan mengintip, tidak ada siapapun lagi di balik pohon. Panik. Aku bergegas mencarinya, namun sialnya saat melewati pohon kakiku tersandung, aku terjatuh dan kepalaku nyaris terantuk sebuah nisan. Aku bangkit meringis karena kakiku memar, aku membersihkan diri . Sesaat aku tertegun, nyaris tidak percaya. Apa yang ada dihadapanku benar-benar membuatku terhenyak. Hatiku menjadi begitu terluka. Dihadapanku, Nisan yang sedari tadi ditangisi oleh pendeta itu, tepat di bawah pohon beringin muda . Nisan berukirkan salib dan nama yang tidak akan pernah ku duga sudah mati.  “Mira Tresmawati”. Namaku dengan begitu indah terukir disana. Aku tertunduk dan merasa hatiku tersayat perih. Maafkan aku Yefta. Maafkan aku Cintaku.
           
..................................
             
           


No comments:

Post a Comment