Monday, October 31, 2016

Sepenggal Cerita

Cerpen:
Jeruji, Orator dan Secangkir Kopi

Seperti secangkir kopi hangat yang tersaji di pagi yang sejuk sedemikianlah gambaran semangat yang hadir dalam jiwanya. Aroma harum nan khas mengawali kenikmatan yang pahit dari seteguk kopi ataukah pahit yang menawarkan kenikmatan.
Dibalik jeruji dia tersenyum memegang tangkai gelasnya sembari menyeduh teh kopi yang masih panas. Dia tersenyum memandang jeruji dihadapannya. Jeruji yang memenjarakan jiwanya. Tak henti mulutnya meniup hingga uapnya mengepul, meninggalkan jejak aroma kopi yang menawarkan kepahitan. Kepahitan yang tidak terbatas kepada pahit itu sendiri akan tetapi rasa pahit yang memberinya Aroma kehidupan, dibalik jeruji yang sekian lama telah memenjarakan jiwa dan kebebasannya.
Dia tetap memiliki semangat. Meskipun itu hadir seperti bayang-bayang semu, setidaknya tidak membuatnya terjebak dalam kehampaan. Kehampaan itu seperti sosok yang menakutkan yang sewaktu-waktu datang merasuki kepala dan mengakhiri segala harapan yang ada.
Semua berawal dari perubahan. Mencoba untuk melakoni sejarah tetapi terjebak pada sistem yang lebih kuat. Dia seorang Mahasiswa, yang mencoba keluar dari sistem yang menekannya akan tetapi dia berakhir dibalik jeruji, menikmati sisa-sisa Tahunnya bersama segelas Kopi di setiap pagi sembari menghitung hari-hari.
Dia seorang Orator yang dibungkam, intelek yang dibantah, dan pemikir yang diabaikan. Ada-ada saja warna dalam perjalanan hidupnya, akan tetapi hitamnya kopi lebih memberi kepekatan yang pasti dalam garis lurus sejarah kehidupannya sebagai seorang yang dinamakan Mahasiswa. Sebab drama yang dia lakoni bukanlah drama solo, bukan pantomim melainkan drama babak per babak yang membutuhkan banyak pemeran didalamnya agar untaian dan alur cerita dapat terbentuk menjadi suatu rangkaian kisah yang sempurna. Akan tetapi, pada kenyataannya ia sendiri, memikirkan dunia yang besar yang harus dihadapi. pada akhirnya ia tetap sendiri menanggung untuk mengakhiri segala perkara yang telah dimulainya.
Seharusnya ia memiliki kekuatan itu, kekuatan untuk menghimpun. bukankah aksi protes tempo hari membawa banyak massa? Kenapa aku sendirian di balik jeruji ini? Kami memiliki pemikiran yang sama, kami mengalami penderitaan dan luka yang sama ? dimanakah mereka saat ini? Apakah masih melanjutkan perjuangan? Dia berbisik, ungkapan dari seruan hatinya yang pilu. Sesungguhnya ia tidak takut akan masa depan, dia hanya takut apabila melakukan kesalahan di masa lalu.
“Hey Bung! Ku dengar Bisikanmu, kehampaan terlalu mengusik pikiranmu sehingga kau lupa masih ada kami disampingmu, hanya dinding tembok dan jeruji yang membatasi kita, perjuangan masih terus berlanjut” ada suara dibalik tembok sebelah kanannya.
“perjuangan akan tetap ada, meskipun bukan kita lagi aktornya, tenanglah bung, Nikmati sisa kopimu, hari masih panjang” ada suara menyahut dari balik tembok sebelah kirinya.
Lalu sang orator tersenyum dan menatap ventilasi di belakangnya. Ternyata hari sudah mulai cerah. ada kebahagiaan tersirat, bahwa ternyata ia tidak sendiri menghadapi badai ini. Ia menatap kopi dalam cangkir yang sudah mulai dingin dalam genggamannya. Ia tersenyum lagi, mengangkat cangkir dan meneguk kopi itu sampai habis. Setidaknya harapan itu tidak akan pernah sirna, dari waktu ke waktu.


By : Jepri Mardaup

No comments:

Post a Comment