Ilmu pengetahuan sibuk membahas mengenai kebenaran
objektif, sedangkan fenomenologi meletakkan kebenaran pada nilai yang dihidupi
subjek, yang di dalamnya terurai pengalaman manusiawi, konflik, rekonsiliasi,
kebijaksanaan lokal, kebenaran yang teriorisasi oleh subjek. Didalam bidang
pendidikan objektivitas penting untuk siswa, dan rute subjektivitas mudah dilupakan.
Subjektivitas tidak dapat dikalkulasi, tak mungkin distatistik, dan tidak valid
bila di rata-rata menurut hitungan matematika.
Fenomenologi
bila dipahami memiliki nota ilmiah yang mengguyur bagai air segar diladang
riset yang mengalami musim kering, riset disiplin sosial. Fenomenologi dapat
dikatakan Ilmu, menurut Edmund Husserl Fenomenologi tidak bisa
dimitologisasikan. Yang artinya Fenomenologi bukan filsafat sejenis
kebijaksanaan yang dideklarasikan oleh Sokrates. Fenomenologi itu science
seperti ilmu pengetahuan yang mengubah peradaban dunia.
Alfred Schutz
menyebut Fenomenologi itu sebagai Metodologi karena konsepnya menawarkan
implikasi prosedural bagaimana kebenaran di raih, lalu realitas di pahami dan
pendekatan hidup manusia dengan cara menjadi milik subjek. Dunia pengalaman
manusia adalah dunia yang subjektif, tetapi kebenaran yang dihadirkan tidak
objektif. Pengalaman manusia merupakan sebuah pengalaman yang halnya menjadi
milik dari keseharian. Dan keseharian mendulang nilai kehidupan manusia,
artinya perkara subjektivitas kebenaran adalah perkara pengalaman nyata. Fenomenologi
meminati terutama dunia pengalaman manusia. Dunia pengalaman manusia adalah
dunia sejarah manusia ( Historisitas ). Soren Kierkegaard mengatakan bahwa
tokoh sejarah manusia adalah dirinya ( pribadi manusia yang bersangkutan ).
Manusia dengan
pengalamannya adalah komponen tunggal dari yang disebut sejarah. Nilai
kehidupan tidak datang dari langit melainkan dari manusia dengan pengalamannya.
Filsafat fenomenologi merupakan seni mempertanyakan kemapaman, kedangkalan, dan
kesemerawutan yang kerap tidak dirasa, tidak dinyana, sebab fenomenologi ialah
filasafat anti kemapanan yan mengedepankan pengalaman manusia bukan formalisme
kebenaran. Phenomenological research method adalah metodologi penelitian yang
berada dalam ranah pengalaman manusia ( Subjek ). Sebuah kesadaran solidaritas
memang bisa muncul dari pengetahuan jumlah penderita. Tetapi yang juga tidak
boleh kelewatan ialah pengalaman manusia para penderita. Riset fenomenologis
bukan sebuah narasi historis atau catatan pengalaman harian. Riset fenomenologi
memiliki kepentingan untuk menguak realitas ( kebijaksanaan ) sosial hingga
pada wilayah autentiknya.
Riset
fenomenologi menaruh minat juga pada perkara “ Kearifan Lokal ” dengan arti
kesadaran pikiran, perasaan, nilai kebersamaan nilai religus, nilai
reonsiliatif, nilai kultural-relasional, nilai organisasional gerakan terkait
dengan relasionalitas dengan sesamanya siapa pun termasuk yang bukan dari
komunitasnya. Dalam fenomenologi, manusia adalah sumber ilmu pengetahuan.
Manusia adalah pencipta sejarahnya. Manusia adalah dia yang membangun “
Pandangan hidup dan dunianya “ ( Weltanchauung ). Dalam penelitian
fenomenologi, peneliti tidak bertindak seperti “ Helikopter “ yang seakan-akan
terbang lebih tinggi berada di atas realitas. Penelitian adalah dia yang
memasuki wilayah itu, belajar dari pengalaman para subjek. Konteks fenomenologi
adalah filasat artinya orang perlu mengenal filsafat agar bisa memahami
fenomenologi.
Filasafat
adalah elaborasi relasi saya dengan dunia ( alam ), sesama manusia, dan Tuhan. Elaborasi
relasi manusia dengan dunia dalam sejarah perkembangan filsafat akan di jumpai
suatu alur pemikiran filsafat yang mengalir, bergulir dari zaman ke zaman. Mitos
dimaksudkan untuk melukiskan relasi manusia dengan alam dengan dunianya, dengan
bahkan realitas yang mengatasi hidupnya. Mitos bukan penjelasan hal atau
peristiwa hujannya melainkan elaborasi relasi manusia dengan dunia. Periode
awal kehadiran filsafat Yunani ditandai dengan campur baur mentalitas berpikir.
Tidak sepenuhnya mitos ditinggalkan. Gerekan intelektual yang berusaha menarik
garis tegas antara penjelasan mitologis dan ilmiah juga makin menghebat. Ilmiah dalam Yunani awali berkaitan dengan
argumentasi, refleksi dan predikasi. Perkembangan filsafat Yunani mencapat
puncak sistematis pada pemikiran Aristoteles.
Bagi
Aristoteles relasi manusia dan dunia identik dengan relasi rasio dan realitas,
artinya pengetahuan manusia tentang dunia adalah pengetahuan rasional tentang
realitas. Dalam Aristoteles mengatakan pengetahuan ialah soal relasi kesesuaian
antara apa yang ada dalam akal budi dengan objek real yang diketahui diluar
akal budi. Dalam Aristoteles pengetahuan memiliki makna, jika pengetahuan itu
benar, sahih dan valid. Kebenaran suatu ilmu pengetahuan dalam cara berpikir
Aristotelian ialah kebenaran objektif. Kebenaran objektif berarti kebenaran
yang menunjuk kepada realitas objeknya. Dalam filsafat Aristotelian, kebenaran
objektif adalah kebenaran Universal.
Plato berkata
bahwa kebenaran universal tak pernah menunjuk kepada objek nyata, sebab objek
nyata hanyalah percikan dari realitas universal. Ide atau gagasan dari
Aristoteles menjadi semacam fondasi metodologi untuk ilmu pengetahuan modern.
Objek nyata merupakan rujukan dari kebenaran. Dengan maksud ilmu pengetahuan
bertumpu pada objek realnya. Pernyataan ilmiah ditarik dari realitas
objektifitas sering kali di katakan filsafat Aristoteles sebagai filsafat esse.
Yang artinya filsafat Aristotelian bertolak dari ada, dari realitas dan dari
segala apa yang ada. Konteks epistemologis, filsafat Aristotelian terus
berlangsung sampai Descartes muncul. Descartes adalah pendobrak gaya
justifikasi model Aristotelian, ia tidak bertolak dari objek , melaikan dari
subjek. Yang paling melukiskan subjektivitasnya, yaitu rasio, akal budi,
kesadaran diri. Filsafat Descartes disebut sebagai filsafat kesadaran karena
melucuti suatu pengetahuan dari dimensi objektivitasnya. Filsafat Descartes
disebut juga sebagai filsafat Cogito Ergo Sum artinya Saya berpikir maka saya
ada.
Descartes
menegaskan yang disebut dengan pengetahuan adalah ingatan sejauh manusia
menyadari. Kepastian ilmu pengetahuan bukan lagi perkara korespondensi atau
diskrepansi rasio dengan realitas, melainkan perkara kesadaran rasional
manusia. Rasionalisme Cartesian ( Descartes ) mengalami puncak elaborasi pada
filsafat Immanuel Kant. Kant mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bukan ingatan,
bukan kesesuaian antara rasio dan realitas, melainkan sintetis apriori. Yang
artinya pengetahuan ada dalam akal budi sendiri yang memiliki struktur
kategoris. Ia juga mengatakan bahwa realitas itu tertutup. Filsafat Kant
membuat krisis metafisika Aristotelian, dan juga teologi Kristiani, karena
dengan Kant esse atau realitas seakan tidak diperlukan lagi. Pengetahuan sudah
tercakup dalam akal budi manusia sedemikian rupa.
Fenomenologi
membuka cara berpikir baru dan mendobrak kesombongan. Fenomenologi juga
memiliki tema sentral yang sangat penting. Ide seperti lifeworld menjadi salah
satunya dalam arti dunia hidup
keseharian. Alfred Schutz juga mengatakan every day life dalam maksud
keseluruhan dari ruang lingkup hidup saya, relasi – relasi saya, peristiwa –
peristiwa di sekitar saya dan segala informasi serta budaya yang menjadi
konteks hidup saya. Lifeworld memiliki makna aktualitas yang berkaitan dengan
masa sekarang.
Fenomenologi
bukan formalisme yang artinya bukan suatu perincian pemikiran yang memiliki
kategori formal, ketat dan rigid. Formalisme berkaitan dengan disiplin ilmu –
ilmu sosial yang memiliki target – target formal menggariskan metodologi sah,
sahih, objektif. Fenomenologi bukan bagian dari ilmu sosial, tidak memiliki
ambisi apapun, bukan pula realisme, karena realisme memiliki keterkaitan dengan
objetivitas objektivisme jauh dari apa yang dimaksud sebagai pemaknaan
fenomenologi. Fenomenologi mengurai dinamisme pemaknaan intersubjektivitas.
Gagasan intersubjektivitas menunjuk pada pandangan yang membuat urusan subjek
mengemuka. Intersubjektivitas adalah relasionalitas, kekuatan interrelasi.
Dalam makna kekuatan kebersamaan dicakup aneka kepentingan subjek yang
mengatasi segala upaya objektivitas. Belajar mengenai fenomenologi bukan saja
belajar filsafat atau belajar ilmu pengetahuan, melainkan belajar tentang
realitas kehidupan tersendiri. Dalam arti fenomenologi menjadi sebuah
keniscayaan model pencarian manusia akan kebenaran hidup dan dirinya,
sesamanya, dunianya, dan relasionalitasnya dengan alam, Tuhannya dan suatu arti
indahnya sebuah metodologi yang memiliki destinasi yang mengubah realitas
sosial hidup keseharian menjadi lebih baik, lebih manusiawi.
Chairil Sastra (Redaksi)