Cerpen:
Jeruji, Orator dan Secangkir Kopi
Seperti
secangkir kopi hangat yang tersaji di pagi yang sejuk sedemikianlah gambaran
semangat yang hadir dalam jiwanya. Aroma harum nan khas mengawali kenikmatan
yang pahit dari seteguk kopi ataukah pahit yang menawarkan kenikmatan.
Dibalik
jeruji dia tersenyum memegang tangkai gelasnya sembari menyeduh teh kopi yang
masih panas. Dia tersenyum memandang jeruji dihadapannya. Jeruji yang
memenjarakan jiwanya. Tak henti mulutnya meniup hingga uapnya mengepul, meninggalkan
jejak aroma kopi yang menawarkan kepahitan. Kepahitan yang tidak terbatas
kepada pahit itu sendiri akan tetapi rasa pahit yang memberinya Aroma
kehidupan, dibalik jeruji yang sekian lama telah memenjarakan jiwa dan
kebebasannya.
Dia
tetap memiliki semangat. Meskipun itu hadir seperti bayang-bayang semu,
setidaknya tidak membuatnya terjebak dalam kehampaan. Kehampaan itu seperti
sosok yang menakutkan yang sewaktu-waktu datang merasuki kepala dan mengakhiri
segala harapan yang ada.
Semua
berawal dari perubahan. Mencoba untuk melakoni sejarah tetapi terjebak pada
sistem yang lebih kuat. Dia seorang Mahasiswa, yang mencoba keluar dari sistem
yang menekannya akan tetapi dia berakhir dibalik jeruji, menikmati sisa-sisa
Tahunnya bersama segelas Kopi di setiap pagi sembari menghitung hari-hari.
Dia
seorang Orator yang dibungkam, intelek yang dibantah, dan pemikir yang
diabaikan. Ada-ada saja warna dalam perjalanan hidupnya, akan tetapi hitamnya
kopi lebih memberi kepekatan yang pasti dalam garis lurus sejarah kehidupannya
sebagai seorang yang dinamakan Mahasiswa. Sebab drama yang dia lakoni bukanlah
drama solo, bukan pantomim melainkan drama babak per babak yang membutuhkan
banyak pemeran didalamnya agar untaian dan alur cerita dapat terbentuk menjadi
suatu rangkaian kisah yang sempurna. Akan tetapi, pada kenyataannya ia sendiri,
memikirkan dunia yang besar yang harus dihadapi. pada akhirnya ia tetap sendiri
menanggung untuk mengakhiri segala perkara yang telah dimulainya.
Seharusnya
ia memiliki kekuatan itu, kekuatan untuk menghimpun. bukankah aksi protes tempo
hari membawa banyak massa? Kenapa aku sendirian di balik jeruji ini? Kami
memiliki pemikiran yang sama, kami mengalami penderitaan dan luka yang sama ?
dimanakah mereka saat ini? Apakah masih melanjutkan perjuangan? Dia berbisik,
ungkapan dari seruan hatinya yang pilu. Sesungguhnya ia tidak takut akan masa
depan, dia hanya takut apabila melakukan kesalahan di masa lalu.
“Hey
Bung! Ku dengar Bisikanmu, kehampaan terlalu mengusik pikiranmu sehingga kau
lupa masih ada kami disampingmu, hanya dinding tembok dan jeruji yang membatasi
kita, perjuangan masih terus berlanjut” ada suara dibalik tembok sebelah
kanannya.
“perjuangan
akan tetap ada, meskipun bukan kita lagi aktornya, tenanglah bung, Nikmati sisa
kopimu, hari masih panjang” ada suara menyahut dari balik tembok sebelah kirinya.
Lalu
sang orator tersenyum dan menatap ventilasi di belakangnya. Ternyata hari sudah
mulai cerah. ada kebahagiaan tersirat, bahwa ternyata ia tidak sendiri menghadapi badai ini. Ia menatap kopi dalam cangkir yang sudah mulai dingin dalam
genggamannya. Ia tersenyum lagi, mengangkat cangkir dan meneguk kopi itu sampai
habis. Setidaknya harapan itu tidak akan pernah sirna, dari waktu ke waktu.
By : Jepri Mardaup