Aku hanya tertegun dalam anganku,
mengingat dia setelah tahun berganti tahun. Ada senyum tulus yang kemudian mengajakku bermimpi. Mungkin
bersama dia bukanlah waktu-waktu yang terbaik dalam hidupku namun satu hal yang
pasti, aku tidak pernah bisa melupakannya.
“Mira, Mira”
Kurasakan tangan kekar menggenggam tanganku. itu victor, suamiku.
Jika ditanya bagaimana perasaanku, ya aku sangat nyaman tapi suasananya berbeda ketika tangan yang lebih
mungil dan lembut dulu menggenggam
tanganku. Rasanya sangat berbeda, namun ironisnya aku samasekali tidak
berani memberi komentar tentang apa yang sebenarnya hatiku rasakan.
“Mira, kok menghayal Sayang?”
“ah, ngga apa-apa kok vi, tiba-tiba
aja aku teringat mama” aku berbohong
“jangan sedih sayang, yakinlah mama
pasti sembuh kok, cuman demam biasa nya mama” ujarnya menghiburku.
Kami
bersama-sama menikmati suasana mentari terbenam di tepi pantai . Sesungguhnya
ini adalah liburan yang menyenangkan di Sibolga tepat satu tahun setelah
pernikahan kami. Kami sama-sama bahagia menjalani rumah tangga. Kami telah lama
merencanakan perjalanan ini, karena tidak ada bulan madu setelah pernikahan
kami. Victor adalah seorang abdi Negara yang harus siap bertugas di lembaga
pemasyarakatan, sementara aku adalah seorang guru honorer. Oleh karena karir
kami, kami harus saling menyemangati dan memaklumi. Itulah tugas suami istri.
Namun, suasana hatiku terganggu
ketika hujan kemarin sore. Saat itu, mobil kami mogok hingga terpaksa naik
angkutan kota menuju Hotel tempat kami menginap sementara victor sudah
menghubungi bengkel terdekat untuk mengurus mobil kami.
Dalam situasi yang agak remang
karena hujan yang turun begitu deras, aku tidak terlalu memperhatikan penumpang
yang lain selain memegang tangan suamiku dan menghangatkan diri pada badannya
yang jangkung. Angkutan itu berhenti, dan seorang ibu yang kehujanan bersama
anaknya yang menangis kedinginan di gendongan, mereka naik ke angkot. Umur anak
itu mungkin saja masih satu tahun. Mereka basah kuyup, sementara pintu samping
angkot itu tidak bisa ditutup. Percikan air hujan merembes masuk.saat itu aku
iba dan berpikir betapa bodohnya tadi aku tak membawa payung.
Tangisan anak itu membahana, namun
kalah oleh petir dan hujan deras. Sementara ibu itu duduk menghadap langsung ke
pintu angkot yang terbuka. Tak ada yang rela menukarkan tempat duduk. Sementara
aku iba, namun tak berniat berbuat karena takut jauh dari suamiku di situasi
seperti ini.
“anak ibu demam” suara seorang pria
yang duduk disebelah victor. Rupanya pria itu menompangkan tangannya ke kepala
anak itu memeriksa kondisi si anak.
“iya amang, sebenarnya tadi mau
berobat tapi karena panik saya lupa membawa payung”
“lae, boleh pinjam payungnya” pria
itu meminta kepada seorang lelaki di sudut angkot yang yang kelihatannya dari
tadi lebih memilih untuk tidak perduli.
“oh, ini lae” sodornya
Pria mungil itu membuka payung lebar
itu di dalam angkot, sembari meminta maaf kepada penumpang lainnya. Sesaat
suara celoteh tanda protes terdengar, namun setelah tahu apa yang diperbuat
pria itu semuanya terdiam membisu. Pria itu menggunakan payung sebagai penahan
percikan air hujan yang masuk ke angkot.. anak dan ibu itu pun terlindungi.
Beruntungnya si anak mulai terdiam, mungkin karena sudah kelelahan. Nampaknya
ia mulai tertidur di pangkuan bundanya yang lembab.
Sang ibu pun menyuruh angkot
berhenti, tanda sudah sampai. Kemudian pria itu turun setelah lebih dahulu
membenahi payung dan memberikannya kepada lelaki disudut angkot yang ternyata
tak terbuka juga nuraninya untuk memberi. Pria itu membuka jaket hitamnya dan
melindungi ibu dan anak itu lantas menerobos hujan yang deras. Begitu heroik.
Sempat kulihat tatapannya yang teduh dan brewok di wajahnya yang tercukur rapi,
mimiknya sendu dan aku merasa familiar. Rasanya aku mengenal dia.
Aku hanya melihat ketidakpedulian di
wajah victor dan juga merasakan malu di hatiku. Mungkin karena kami hanya orang
asing di tempat ini, hanya wisatawan yang berlibur sehingga menjadi suatu
batasan untuk berbuat sesuatu yang baik.
“Besok kita ibadah ke gereja yah”
Suara victor menyadarkanku dari
lamunan, kembali ke pantai indah ini
“Iya sayang” sambutku sambil
mendekapnya, suamiku tercinta. Ini yang selalu aku suka dari suamiku. Dia
bilang Jika di gereja dia akan selalu mengingat kembali bagaimana saat pertama
ia bertemu denganku dulu.
Malam berlalu, kami meleawatinya
dalam pelukan cinta.
Selepas ibadah minggu, aku dan
victor bergegas ke ruang konsistori
gereja. Aku tidak pernah menduga jika pria yang menolong ibu dan anak di angkot
itu adalah pria yang juga berkhotbah pagi ini di gereja serta mengisahkan
sebuah ilustrasi yang sangat mencelikkan hati. Ia menyebutkan “angkot yang
tidak peduli”. Dan aku juga tidak menyangka bahwa anak di pangkuan ibu itu
meninggal semalam karena demam tinggi, diumumkan di acara Tingting
(pengumuman).
Namun apa yang kucari dan ingin ku
pastikan tidak kudapati disana. Lantas aku bertanya kepada salah satu
penatua gereja tepat sebelum masuk ke
ruang konsistori.
“amang, mohon waktunya sebentar”
“iya inang, ada yang bisa saya
bantu?
“kami mencari amang pendeta”
“oh, amang pendeta berkunjung ke
makam yefta, yang baru dimakamkan tadi pagi”
“Yefta?” aku terheran. Dalam pikiranku
muncul rasa penasaran.
“iya inang, anak ini memang
kebetulan sama namanya dengan pendeta kita . Kalau boleh tahu inang dan amang
orang mana? Bukan jemaat gereja ini kan?”
“Iya amang, kami hanya wisatawan.
Hanya saja ada keperluan dengan amang Pendeta” ujar victor.
“oh kalo begitu, orang amang sama
inang ke sana saja, pemakaman itu dekat dari sini”
Setelah mengucapkan terimakasih,
kami pun berangkat menuju pemakaman sesuai petunjuk amang penatua itu. Tidak
lama kami kemudian kami menemukan tempat pemakaman umum tersebut.
“sayang, kamu tidak ikut” tanyaku
kepada suamiku, setelah aku turun dari mobil dan kulihat dia tak ikut beranjak
dari setirnya.
“lebih baik aku mengopi dulu ke
kedai terdekat. Jumpailah dia” katanya.
“kamu yakin?” aku berusaha
memastikan.
“kamu istriku!, telpon aku nanti
kalau sudah selesai” ucapnya sambil menutup kaca mobil. Perlahan mobil pun
melaju.
Kemudian ku langkahkan kakiku,
meyakinkan niatku untuk menjumpainya. Ku telusuri jalan setapak diantara
pekuburan yang masih jarang, belum terlalu padat. Samar-samar dari jauh ku
lihat dia, sendirian. duduk tertunduk sepertinya tengah berdoa, menghadap
kuburan yang masih baru. Mungkin itu kuburan Yefta, bayi yang meninggal
kemarin. Dalam hatiku mulai yakin, benar itu dia; Yeftaku, kekasihku. Sekarang
sesuai citanya yang dulu, sudah menjadi pendeta. Hanya saja aku tidak
mengenalnya karena brewoknya yang sudah tumbuh, dulu wajahnya begitu bersih. Oh
Tuhan, betapa hatiku bersyukur. Namun langkahku tertahan. Sepertinya ia telah
siap berdoa.
Aku lantas bersembunyi di balik
sebuah pohon beringin muda yang rindang. Perlahan ku dengar langkah kakinya
mendekat berjalan menuju ke arahku. “Oh Tuhan, apakah ia melihatku?”. Aku
meringkuk di balik pohon. Jantungku berdebar kencang, sangat kencang. Ku tahan
napasku, keringat dinginku mulai muncul.
Dengan jelas ku dengar ia, pendeta
itu menangis sesenggukan sambil menariki akar beringin dibalik persembunyianku.
Sepertinya ia mencari sesuatu. Aku lega, ternyata aku tidak terciduk. Aku pun
merasa malu mengapa harus berperan seperti mata-mata.
Tidak lama kemudian, sesenggukan itu
berubah menjadi tangisan yang menyedihkan. Begitu jelas ku dengar. Dan suara
tangis itu sangat ku kenal. Tangisan yang pernah berhenti dalam bujukanku,
tangisan yang pernah berhenti dalam dekapanku. Ohh yeftaku, hatimu masih tidak
bisa menyembunyikan kelembutannya. Ku rasakan air mataku ikut menetes, menyatu
dalam kesedihannya. Ia tidak mengucap kata. Hanya menangis saja.
Beberapa waktu kemudian, suara
tangis Yefta makin pelan hingga kemudian menghilang. Aku bangkit dan mengintip, tidak
ada siapapun lagi di balik pohon. Panik. Aku bergegas mencarinya, namun sialnya
saat melewati pohon kakiku tersandung, aku terjatuh dan kepalaku nyaris
terantuk sebuah nisan. Aku bangkit meringis karena kakiku memar, aku membersihkan
diri . Sesaat aku tertegun, nyaris tidak percaya. Apa yang ada dihadapanku
benar-benar membuatku terhenyak. Hatiku menjadi begitu terluka. Dihadapanku,
Nisan yang sedari tadi ditangisi oleh pendeta itu, tepat di bawah pohon
beringin muda . Nisan berukirkan salib dan nama yang tidak akan pernah ku duga
sudah mati. “Mira Tresmawati”. Namaku
dengan begitu indah terukir disana. Aku tertunduk dan merasa hatiku tersayat
perih. Maafkan aku Yefta. Maafkan aku Cintaku.
..................................