“ GEORGE BERKELEY “
Konsep
“spirit” Berkeley berkaitan dengan konsep “kesadaran subjek” atau “mind”,
sedangkan konsep “ide”itu berkaitan dengan konsep sensasi atau “state of mind”
atau kesadaran pada pengalaman. Berkeley menolak gagasan “eksistensi material
sebagai substansi metafisika”, tetapi dia tidak menolak gagasan “eksistensi
objek fisik” seperti meja atau pohon. Basik pemikiran inilah yang kemudian
disebut sebagai pandangan “imaterialisme” atau idealism subjektif.
1. PENDAHULUAN
Fenomena
modernisasi pada masa Renaisans, yang ditandai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan, disambut baik oleh berbagai kalangan. Pada dunia Filsafat,
modernisasi tidak hanya direspon oleh kaum Rasionalis, tapi juga kaum Empiris.
Kedua school of philosophy terbesar di dunia Barat tersebut memiliki pandangan
yang berbeda terkait dengan pembahasan Epistemologi, yang berimplikasi pada pandangan
filosofis lainnya.
Rasionalisme
berpandangan bahwa rasio (akal) merupakan alat yang lebih utama daripada indra
dalam memperoleh pengetahuan. Sementara itu, Empirisme berpandangan bahwa indra
lebih utama daripada rasio. Selain itu, empirisme menekankan pada peroleh pengetahuan melalui pengalaman. Adapun filosof
besar pada aliran ini antara lain sebagai berikut, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume
Dewasa
ini, pandangan kaum empiris acap kali menjadi dasar bagi penelitian ilmiah.
Dengan kata lain, sesuatu tidak dapat dikatakan sebagai ‘pengetahuan’ apabila
tidak didasarkan pada observasi empiris. Bahkan, pengaruh empirisme, tidak
dapat dipungkiri, telah mewarnai kemajuan sains dan tekhnologi. Mengingat
betapa pentingnya “Empirisme” dalam diskursus Filsafat, maka pembahasan salah
satu filosof Empirisme menjadi relevan. Salah satu tokoh Empirisme, yang
merupakan pengikut John Locke sekaligus pengkritik filsafat Locke, ialah George
Berkeley. Pada makalah ini, kami akan mengetengahkan pembahasan berkenaan
dengan biografi Berkeley, serta pemikiran Filsafat beliau.
2. ISI
George
Berkeley yang dikenal juga sebagai Uskup Berkeley lahir di County Kilkenny,
Irlandia pada 12 Maret 1685 dan meninggal di Oxford, Inggris pada 14 Januari
1753 pada usia 67 tahun. Dia hidup pada abad ke-18 dan termasuk ke dalam tokoh
filosof modern. Dia pernah belajar di Kilkenny School, Trinity College dan
Universitas Oxford. Dia adalah seorang katolik Anglikan dan sempat menjadi
uskup Cloyune, tetapi dia menerapkan menerapkan kebijakan toleransi kepada para
penganut Katolik Roma di Irlandia. Dia terkenal sebagai seorang pemikir
subjektif idealisme dan empirisme. Ketertarikan utamanya adalah pada
kekristenan, metafisika, epistemologi, bahasa, matematika, dan persoalan
persepsi. Pemikiran Berkeley telah mempengaruhi David Hume, Edmund Burke,
Immanuel Kant, Thomas Reid, Arthur Schopenhauer, Johnd Stuart Mill, Ernest
Mach, A. J. Ayer, Jorge Luis Borges, Samuel Beckett, Francis Bowen, dan Borden
Parker Bowne.
Filsafat
Berkeley tidak hanya berpengaruh di Irlandia, tetapi juga di Amerika, karena
dia pernah memimpin pertobatan orang-orang Irlandia di Amerika. Adapun karya
utamanya adalah Treatise Concerning The Principles of Human Knowledge, Essay
Toward a New Theory of Vision. Pemikiran Berkeley sangat dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran John Locke dan Jonathan Swift (penulis buku Gulliver’s
Travels). Meskipun pemikirannya sangat dipengaruhi Locke, Berkeley menolak
beberapa pandangan dasar Locke yaitu menolak adanya idea-idea abstrak yang
ditarik dari objek-objek konkret.
Contoh, idea kubus disimpulkan dari kubus konkret.
Berkeley
tidak percaya akan adanya idea-idea di luar fikiran. Suatu objek ada berarti
objek itu dapat dipersepsi oleh fikiran kita dan segala pandangan metafisis
tetang adanya kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipersepsi oleh fikiran kita
adalah omong kosong. Dia terkenal dengan ucapannya “Esse est percipi” (being is
being perceived) artinya, dunia material sama saja dengan dunia idea-idea.
Jadi, sebenarnya dunia material di luar kesadaran itu, substansi material,
tidak ada; yang ada hanya penangkapan persepsi kita, karena itu, “being is
being perceived” sama dengan “being is seeming”, atau “duniaku adalah duniaku”.
Adanya sesuatu adalah karena
kesan-kesan yang teramati oleh subjek. Anthony Kenny juga
menekankan esse est percipi sebagai pandangan filosofis yang terpenting dari
Berkeley. Adapun konsekuensi dari postulat tersebut adalah pandangan bahwa
objek materi merupakan ide Tuhan yang diberikan kepada manusia.
Dari
pemaparan tersebut, sesungguhnya pemikiran Berkeley terwarnai oleh Locke.
Dengan kata lain, Berkeley memiliki pangkal pemikiran yang sama dengan Locke.
Namun, kesimpulan Berkeley berbeda dengan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan
sering bertentangan dengan Locke. Locke membedakan antara idea dan pengalaman.
Pengalaman dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari objek, sedangkan idea
adalah pengalaman yang dicerna oleh subjek. Sedangkan Berkeley berpendapat
bahwa pengalaman dan idea itu satu dan sama. Pengalaman indrawi menurut Locke
diartikan sebagai pengalaman batiniah oleh Berkeley yang disebabakan langsung
oleh Tuhan. Dengan kata lain, persepsi, citra, dan idea sama dengan pengalaman.
Sekilas pandangan Berkeley
tampak seperti rasionalisme karena memutlakkan subjek. Namun jika diperhatikan
lebih lanjut, pandangan ini termasuk empirisme, karena pengetahuan subjek
diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun
pengalaman-pengalaman itu adalah pengalaman batin. Dengan menegaskan tentang
adanya sesuatu sama dengan pengertiannya dalam diri subjek, Berkeley
berpandangan idealistis, yang oleh dirinya sendiri disebut imaterialisme, sebab
dia menyangakal adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia. Dia
tidak percaya adanya dunia luar, sebaliknya beranggapan bahwa dunia
adalah idea-idea kita. Keyakinan Berkeley yang asasi adalah ;
·
Segala realitas di luar manusia tergantung kepada kesadaran;
·
Tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi;
·
Tiada pembedaan antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan
pengalaman lahiriah, sebab pengamatan
adalah identik dengan gagasan yang diamati;
·
Tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang
konkrit adalah
pribadi-pribadi atau tokoh-tokoh yang berfikir.
Pangkal
pikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurut
dia segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan identic dengan gagasan yang diamati. Bagaimana pengamatan terjadi?
Pengamatan
bukan terjadi karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang
diamati, melainkan karena hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan
pengamatan indera yang lain. Contoh,
pengamatan jarak atau ukuran luas antara subjek dan objek yang diamati.
Pengamatan ini terjadi karena hubungan antara pengamatan penglihatan dan
pengamatan raba (pengamatan saya hanya menunjukkan bahwa ada warna meja, peraba
saya menunjukkan bentuk; kasar dan halusnya). Sebenarnya penglihatan saya tidak
mengamati jarak atau ukuran keluasan antara meja itu dengan saya. Penglihatan tidak menceritakan berapa jauh
jarak antara saya dan barang yang saya amati. Pengalaman dan kebiasaanlah yang
menjadikan saya menduga bahwa ada jarak, ada ukuran keluasan, atau ada ruang di
antara saya dan benda yang diamati.
Hal
ini juga dipaparkan oleh Kenny, merujuk pada karya Berkeley (1709) yaitu “An
Essay towards a New Theory of Vision”.Jika seseorang mengamati sesuatu, padanya
ada gambaran tentang sesuatu, akan tetapi gambaran itu tidak menggambarkan
suatu realitas yang ada di luar kita. Gambaran itu tidak mencerminkan sesuatu
di luar pengamatan. Di luar pengamatan tiada benda yang konkrit, yang ada hanya
pengamatan yang konkrit, yang ada adalah “hal diamati” itu. “berada” berarti
“diamati”. Realitas hal-hal yang diamati terletak hanya dalam hal ini, bahwa
hal-hal itu diamati. “Hanya pengalamanlah yang ada. Lalu apakah objek yang
dikenal? Objek itu adalah gagasan-gagasan atau idea-idea., yaitu idea-idea yang
disebababkan karena pengamatan indera yang langsung dan yang disebabkan karena
pengamatan batiniah, serta pengamatan yang ditambahkan ingatan dan fantasia atau
khayalan, dengan penggabungan-penggabungan bagian-bagian gambaran yang diamati.
Segala
sesuatu yang kita amati adalah konkrit. Seperti; kita tidak dapat memikirkan
keluasan (ruang) tanpa warna, bentuk, isi. Juga kita tidak dapat memikirkan
gerak tanpa kecepatan dan kelambatan. Jadi, hanya gagasan-gagasan yang
konkritlah, yang dapat dipakai untuk memikirkan gagasan-gagasan konkrit lainnya
yang bermacam-macam itu. Apa yang berada secara umum hanya
berada sebagai nama saja.
Pengertian
Locke mengenai substansi, menurut Berkeley hanya merupakan hipotesa yang
sewenang-wenang dan berlebihan. Substansi tidak lebih dari penggabungan yang
tetap dari gagasan-gagasan. Seandainya kita meniadakan segala sifat yang ada
pada sesuatu, maka tidak aka nada sesuatu lagi. Sebab sifat-sifatlah yang
membentuk isi sesuatu tadi. Sesuatu yang kita kenal sebenarnya adalah kelompok
sifat-sifat yang dapat diamati. Contoh, sebuah meja, terdiri dari bentuknya
yang tampak, kerasnya yang dapat diraba, dan suaranya yang dapat didengar jika
ditarik dari tempatnya. Sifat-sifat ini di dalam pengalaman memiliki sekedar
hubungan yang menjadikan akal sehat menganggapnya sebagai dimiliki sesuatu.
Akan tetapi konsep tentang sesuatu hal atau substansi tidak menambah apa-apa
kepada sifat-sifat yang diamati, karena itu tidak perlu mutlak. Realitas
hal-hal yang diamati terletak dalam hal itu, bahwa ia diamati. Maka sifat-sifat
yang dapat diamati itu tidak memiliki dasar yang objektif berada di luar kita.
Dunia di luar kita adalah jumlah urut-urutan gagasan kita. Jika dunia itu kita
terima sebagai berada, maka kita tersesat. Kebenaran pengetahuan kita tidak
didukung oleh dunia di luar kita.
Jika
demikian, lalu darimana asal gagasan-gagasan atau idea-idea kita itu?
Gagasan-gagasan itu pasif. Realitasnya terdiri dari hal ini, bahwa ia “diamati”,
jadi harus ada yang mengamatinya. Yang mengamati adalah “aku” atau subjek
pengamatan. Gagasan sebagai ketentuan semata-mata, tergantung kepada adanya
“aku”. Pengenalan tentang “aku” yang diberikan dalam tiap pertimbangan itu
sendiri bukanlah gagasan atau idea, melainkan suatu pengetahuan yang mempunyai
macamnya sendiri, suatu pengertian. “Aku” ini adalah tunggal, tak berjasad,
sesuatu yang berdiri sendiri dan bekerja sendiri, yang mempunyai kecakapan
mengamati dan menghendaki. Hanya pengamatan dan mengamatilah yang ada. Oleh
karena itu, kausalitas dalam arti yang sebenarnya hanya dimiliki oleh substansi
rohani. Kausalitas dalam dunia benda adalah ini, bahwa gagasan-gagasan tertentu
diamati secara berturut-turut. Roh itulah sebab yang sebenarnya dari segala
aktifitas sendiri.
Gagasan-gagasan
atau idea-idea bukanlah hasil subjek yang mengamati sendiri. Pengamatan yang
sebenarnya didesakkan kepada roh dalam suatu tertib tertentu. Satu-satunya
sebab yang menyebabkan pendesakan itu ialah substansi rohani yang tertinggi,
yaitu Allah. Allah telah memberikan kepada roh manusia pertunjukkan tentang
dunia benda sebagai suatu susunan yang terdiri dari tanda-tanda, di dalamnya ia
berfirman kepada kita tanpa memerlukan penghubung dari dunia yang nyata di luar
kita. (Bertens menggambarkannya sebagai pemutaran film yang dilakukan
Allah di dalam batin kita).
Ilmu
pengetahuan Alam mengajar kita mengerti akan tanda-tanda itu, serta menemukan
peraturan pertunjukannya. Bagi kesadaran kita segala sesuatu di dalam alam
berjalan menurut hukum dan peraturan. Akan tetapi segala hukum itu tidak perlu
mutlak, sebaba hukum-hukum hanya mendapat jaminannya dalam kehendak Allah, yang
setiap kali dapat mendobraknya dengan suatu mukjizat.
Dunia
sebagai gagasan bukan hanya diberikan kepada kesadaran saya tetapi juga kepada
kesadaran orang lain. Oleh karena itu dunia berlangsung ada, juga seandainya
pengamatan saya atau pengamatan orang lain untuk sementara waktu atau untuk
selamanya berhenti. Sekalipun realitas dunia ada pada pengamatan kita, namun
realitas dunia itu tidak tergantung pada pengamatan kita. Juga lepas daripada
segala pengamatan manusia, dunia tetap berada, yaitu di dalam kesadaran Allah
yang kekal, Allah senantiasa mengamati segala sesuatu. Dipertahankannya dunia
dalam adanya yang berlangsung mendukung aktifitas Allah sebagai pencipta yang
berlangsung terus tiada hentinya. Oleh karena pengamatan Allahlah, maka
pohon-pohon, gunung-gunung, batu-batu, dan lain-lainnya berada secara
terus-menerus seperti didugakan oleh akal sehat. Bagi Berkeley, keyakinan ini
adalah suatu bukti yang kuat tentang adanya Allah. Seolah-olah Allah diminta
pertolongannya untuk menyelamatkan kenyataan dunia ini.
3. KESIMPULAN
Pemikiran
filosofis Berkeley sangat kompleks dan rumit, sehingga sulit dipahami. Sebagai
salah satu filosof Empirisme,filsafat Berkeley sangat paradoks karena
idealistik. Jadi, tak heran lagi jika Berkeley dianggap sebagai Filosof
Empiris, sekaligus Idealis. Pandangan idealistik ini yang menjadi pondasi bagi
penafian Berkeley terhadap materi; disebut sebagai penganut immaterialisme.
Walaupun
filsafat Berkeley terkesan paradoks, tapi sesungguhnya dia mencoba untuk
konsisten pada keyakinan terhada Tuhan. Sebagai seorang uskup Irlandia,
Berkeley terlihat menjadikan pandangan-pandangan filosofisnya sebagai landasan
ontologis bagi eksistensi Tuhan. Bahkan, Berkeley berupaya untuk membangun
argumentasi logis dalam penempatan Tuhan dalam posisi tertinggi dalam
Filsafatnya. Hal itu berimplikasi pada pandangan Berkeley dalam mempersepsi
realitas. Setidaknya ini merupakan langkah yang patut diapresiasi, daripada
sekadar percaya kepada Tuhan tanpa alasan logis yang rasional.
Kesulitan
pemakalah dalam memahami filsafat Berkeley, justru semakin meningkatkan
semangat untuk menggali pemikirannya lebih mendalam. Berkeley adalah salah satu
potret filosof modern yang religius. Tidak hanya karena sebagai Uskup, tapi
juga karena pandangan filosofis Berkeley mengafirmasi doktrin-doktrin agama.
Semoga akan lahir Berkeley lainnya pada konteks kekinian.
No comments:
Post a Comment