Sunday, March 15, 2015

George Berkeley: sebagai Filsuf Empiris


“ GEORGE BERKELEY “

                                                  


Konsep “spirit” Berkeley berkaitan dengan konsep “kesadaran subjek” atau “mind”, sedangkan konsep “ide”itu berkaitan dengan konsep sensasi atau “state of mind” atau kesadaran pada pengalaman. Berkeley menolak gagasan “eksistensi material sebagai substansi metafisika”, tetapi dia tidak menolak gagasan “eksistensi objek fisik” seperti meja atau pohon. Basik pemikiran inilah yang kemudian disebut sebagai pandangan “imaterialisme” atau idealism subjektif.
1.      PENDAHULUAN
Fenomena modernisasi pada masa Renaisans, yang ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, disambut baik oleh berbagai kalangan. Pada dunia Filsafat, modernisasi tidak hanya direspon oleh kaum Rasionalis, tapi juga kaum Empiris. Kedua school of philosophy terbesar di dunia Barat tersebut memiliki pandangan yang berbeda terkait dengan pembahasan Epistemologi, yang berimplikasi pada pandangan filosofis lainnya.
Rasionalisme berpandangan bahwa rasio (akal) merupakan alat yang lebih utama daripada indra dalam memperoleh pengetahuan. Sementara itu, Empirisme berpandangan bahwa indra lebih utama daripada rasio. Selain itu, empirisme menekankan pada peroleh  pengetahuan melalui pengalaman. Adapun filosof besar pada aliran ini antara lain sebagai berikut, Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, dan David Hume
Dewasa ini, pandangan kaum empiris acap kali menjadi dasar bagi penelitian ilmiah. Dengan kata lain, sesuatu tidak dapat dikatakan sebagai ‘pengetahuan’ apabila tidak didasarkan pada observasi empiris. Bahkan, pengaruh empirisme, tidak dapat dipungkiri, telah mewarnai kemajuan sains dan tekhnologi. Mengingat betapa pentingnya “Empirisme” dalam diskursus Filsafat, maka pembahasan salah satu filosof Empirisme menjadi relevan. Salah satu tokoh Empirisme, yang merupakan pengikut John Locke sekaligus pengkritik filsafat Locke, ialah George Berkeley. Pada makalah ini, kami akan mengetengahkan pembahasan berkenaan dengan biografi Berkeley, serta pemikiran Filsafat beliau.
2.      ISI
George Berkeley yang dikenal juga sebagai Uskup Berkeley lahir di County Kilkenny, Irlandia pada 12 Maret 1685 dan meninggal di Oxford, Inggris pada 14 Januari 1753 pada usia 67 tahun. Dia hidup pada abad ke-18 dan termasuk ke dalam tokoh filosof modern. Dia pernah belajar di Kilkenny School, Trinity College dan Universitas Oxford. Dia adalah seorang katolik Anglikan dan sempat menjadi uskup Cloyune, tetapi dia menerapkan menerapkan kebijakan toleransi kepada para penganut Katolik Roma di Irlandia. Dia terkenal sebagai seorang pemikir subjektif idealisme dan empirisme. Ketertarikan utamanya adalah pada kekristenan, metafisika, epistemologi, bahasa, matematika, dan persoalan persepsi. Pemikiran Berkeley telah mempengaruhi David Hume, Edmund Burke, Immanuel Kant, Thomas Reid, Arthur Schopenhauer, Johnd Stuart Mill, Ernest Mach, A. J. Ayer, Jorge Luis Borges, Samuel Beckett, Francis Bowen, dan Borden Parker Bowne.
Filsafat Berkeley tidak hanya berpengaruh di Irlandia, tetapi juga di Amerika, karena dia pernah memimpin pertobatan orang-orang Irlandia di Amerika. Adapun karya utamanya adalah Treatise Concerning The Principles of Human Knowledge, Essay Toward a New Theory of Vision. Pemikiran Berkeley sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran John Locke dan Jonathan Swift (penulis buku Gulliver’s Travels). Meskipun pemikirannya sangat dipengaruhi Locke, Berkeley menolak beberapa pandangan dasar Locke yaitu menolak adanya idea-idea abstrak yang ditarik dari objek-objek konkret.    Contoh, idea kubus disimpulkan dari kubus konkret.
Berkeley tidak percaya akan adanya idea-idea di luar fikiran. Suatu objek ada berarti objek itu dapat dipersepsi oleh fikiran kita dan segala pandangan metafisis tetang adanya kenyataan-kenyataan yang tidak dapat dipersepsi oleh fikiran kita adalah omong kosong. Dia terkenal dengan ucapannya “Esse est percipi” (being is being perceived) artinya, dunia material sama saja dengan dunia idea-idea. Jadi, sebenarnya dunia material di luar kesadaran itu, substansi material, tidak ada; yang ada hanya penangkapan persepsi kita, karena itu, “being is being perceived” sama dengan “being is seeming”, atau “duniaku adalah duniaku”. Adanya sesuatu adalah karena kesan-kesan yang teramati oleh subjek. Anthony Kenny juga menekankan esse est percipi sebagai pandangan filosofis yang terpenting dari Berkeley. Adapun konsekuensi dari postulat tersebut adalah pandangan bahwa objek materi merupakan ide Tuhan yang diberikan kepada manusia.
Dari pemaparan tersebut, sesungguhnya pemikiran Berkeley terwarnai oleh Locke. Dengan kata lain, Berkeley memiliki pangkal pemikiran yang sama dengan Locke. Namun, kesimpulan Berkeley berbeda dengan Locke, yaitu lebih tajam, bahkan sering bertentangan dengan Locke. Locke membedakan antara idea dan pengalaman. Pengalaman dianggap sebagai sesuatu yang berasal dari objek, sedangkan idea adalah pengalaman yang dicerna oleh subjek. Sedangkan Berkeley berpendapat bahwa pengalaman dan idea itu satu dan sama. Pengalaman indrawi menurut Locke diartikan sebagai pengalaman batiniah oleh Berkeley yang disebabakan langsung oleh Tuhan. Dengan kata lain, persepsi, citra, dan idea sama dengan pengalaman.
Sekilas pandangan Berkeley tampak seperti rasionalisme karena memutlakkan subjek. Namun jika diperhatikan lebih lanjut, pandangan ini termasuk empirisme, karena pengetahuan subjek diperoleh lewat pengalaman, bukan prinsip-prinsip dalam rasio, meskipun pengalaman-pengalaman itu adalah pengalaman batin. Dengan menegaskan tentang adanya sesuatu sama dengan pengertiannya dalam diri subjek, Berkeley berpandangan idealistis, yang oleh dirinya sendiri disebut imaterialisme, sebab dia menyangakal adanya suatu dunia yang ada di luar kesadaran manusia. Dia tidak percaya adanya dunia luar, sebaliknya beranggapan bahwa dunia adalah idea-idea kita. Keyakinan Berkeley yang asasi adalah ;
·         Segala realitas di luar manusia tergantung kepada kesadaran;
·         Tiada perbedaan antara dunia rohani dan dunia bendawi;
·         Tiada pembedaan antara gagasan pengalaman batiniah dan gagasan pengalaman lahiriah, sebab    pengamatan adalah identik dengan gagasan yang diamati;
·         Tiada sesuatu yang berada kecuali roh, yang dalam realitasnya yang konkrit adalah pribadi-pribadi atau tokoh-tokoh yang berfikir.
Pangkal pikiran Berkeley terdapat pada pandangannya di bidang teori pengenalan. Menurut dia segala pengetahuan kita bersandar pada pengamatan. Pengamatan identic dengan gagasan yang diamati. Bagaimana pengamatan terjadi?
Pengamatan bukan terjadi karena hubungan antara subjek yang mengamati dan objek yang diamati, melainkan karena hubungan antara pengamatan indera yang satu dengan pengamatan indera yang lain.  Contoh, pengamatan jarak atau ukuran luas antara subjek dan objek yang diamati. Pengamatan ini terjadi karena hubungan antara pengamatan penglihatan dan pengamatan raba (pengamatan saya hanya menunjukkan bahwa ada warna meja, peraba saya menunjukkan bentuk; kasar dan halusnya).     Sebenarnya penglihatan saya tidak mengamati jarak atau ukuran keluasan antara meja itu dengan saya.  Penglihatan tidak menceritakan berapa jauh jarak antara saya dan barang yang saya amati. Pengalaman dan kebiasaanlah yang menjadikan saya menduga bahwa ada jarak, ada ukuran keluasan, atau ada ruang di antara saya dan benda yang diamati.
Hal ini juga dipaparkan oleh Kenny, merujuk pada karya Berkeley (1709) yaitu “An Essay towards a New Theory of Vision”.Jika seseorang mengamati sesuatu, padanya ada gambaran tentang sesuatu, akan tetapi gambaran itu tidak menggambarkan suatu realitas yang ada di luar kita. Gambaran itu tidak mencerminkan sesuatu di luar pengamatan. Di luar pengamatan tiada benda yang konkrit, yang ada hanya pengamatan yang konkrit, yang ada adalah “hal diamati” itu. “berada” berarti “diamati”. Realitas hal-hal yang diamati terletak hanya dalam hal ini, bahwa hal-hal itu diamati. “Hanya pengalamanlah yang ada. Lalu apakah objek yang dikenal? Objek itu adalah gagasan-gagasan atau idea-idea., yaitu idea-idea yang disebababkan karena pengamatan indera yang langsung dan yang disebabkan karena pengamatan batiniah, serta pengamatan yang ditambahkan ingatan dan fantasia atau khayalan, dengan penggabungan-penggabungan bagian-bagian gambaran yang diamati.
Segala sesuatu yang kita amati adalah konkrit. Seperti; kita tidak dapat memikirkan keluasan (ruang) tanpa warna, bentuk, isi. Juga kita tidak dapat memikirkan gerak tanpa kecepatan dan kelambatan. Jadi, hanya gagasan-gagasan yang konkritlah, yang dapat dipakai untuk memikirkan gagasan-gagasan konkrit lainnya yang bermacam-macam itu. Apa yang berada secara umum hanya berada sebagai nama saja.
Pengertian Locke mengenai substansi, menurut Berkeley hanya merupakan hipotesa yang sewenang-wenang dan berlebihan. Substansi tidak lebih dari penggabungan yang tetap dari gagasan-gagasan. Seandainya kita meniadakan segala sifat yang ada pada sesuatu, maka tidak aka nada sesuatu lagi. Sebab sifat-sifatlah yang membentuk isi sesuatu tadi. Sesuatu yang kita kenal sebenarnya adalah kelompok sifat-sifat yang dapat diamati. Contoh, sebuah meja, terdiri dari bentuknya yang tampak, kerasnya yang dapat diraba, dan suaranya yang dapat didengar jika ditarik dari tempatnya. Sifat-sifat ini di dalam pengalaman memiliki sekedar hubungan yang menjadikan akal sehat menganggapnya sebagai dimiliki sesuatu. Akan tetapi konsep tentang sesuatu hal atau substansi tidak menambah apa-apa kepada sifat-sifat yang diamati, karena itu tidak perlu mutlak. Realitas hal-hal yang diamati terletak dalam hal itu, bahwa ia diamati. Maka sifat-sifat yang dapat diamati itu tidak memiliki dasar yang objektif berada di luar kita. Dunia di luar kita adalah jumlah urut-urutan gagasan kita. Jika dunia itu kita terima sebagai berada, maka kita tersesat. Kebenaran pengetahuan kita tidak didukung oleh dunia di luar kita.
Jika demikian, lalu darimana asal gagasan-gagasan atau idea-idea kita itu? Gagasan-gagasan itu pasif. Realitasnya terdiri dari hal ini, bahwa ia “diamati”, jadi harus ada yang mengamatinya. Yang mengamati adalah “aku” atau subjek pengamatan. Gagasan sebagai ketentuan semata-mata, tergantung kepada adanya “aku”. Pengenalan tentang “aku” yang diberikan dalam tiap pertimbangan itu sendiri bukanlah gagasan atau idea, melainkan suatu pengetahuan yang mempunyai macamnya sendiri, suatu pengertian. “Aku” ini adalah tunggal, tak berjasad, sesuatu yang berdiri sendiri dan bekerja sendiri, yang mempunyai kecakapan mengamati dan menghendaki. Hanya pengamatan dan mengamatilah yang ada. Oleh karena itu, kausalitas dalam arti yang sebenarnya hanya dimiliki oleh substansi rohani. Kausalitas dalam dunia benda adalah ini, bahwa gagasan-gagasan tertentu diamati secara berturut-turut. Roh itulah sebab yang sebenarnya dari segala aktifitas sendiri.
Gagasan-gagasan atau idea-idea bukanlah hasil subjek yang mengamati sendiri. Pengamatan yang sebenarnya didesakkan kepada roh dalam suatu tertib tertentu. Satu-satunya sebab yang menyebabkan pendesakan itu ialah substansi rohani yang tertinggi, yaitu Allah. Allah telah memberikan kepada roh manusia pertunjukkan tentang dunia benda sebagai suatu susunan yang terdiri dari tanda-tanda, di dalamnya ia berfirman kepada kita tanpa memerlukan penghubung dari dunia yang nyata di luar kita. (Bertens menggambarkannya sebagai pemutaran film yang dilakukan Allah di dalam batin kita).
Ilmu pengetahuan Alam mengajar kita mengerti akan tanda-tanda itu, serta menemukan peraturan pertunjukannya. Bagi kesadaran kita segala sesuatu di dalam alam berjalan menurut hukum dan peraturan. Akan tetapi segala hukum itu tidak perlu mutlak, sebaba hukum-hukum hanya mendapat jaminannya dalam kehendak Allah, yang setiap kali dapat mendobraknya dengan suatu mukjizat.
Dunia sebagai gagasan bukan hanya diberikan kepada kesadaran saya tetapi juga kepada kesadaran orang lain. Oleh karena itu dunia berlangsung ada, juga seandainya pengamatan saya atau pengamatan orang lain untuk sementara waktu atau untuk selamanya berhenti. Sekalipun realitas dunia ada pada pengamatan kita, namun realitas dunia itu tidak tergantung pada pengamatan kita. Juga lepas daripada segala pengamatan manusia, dunia tetap berada, yaitu di dalam kesadaran Allah yang kekal, Allah senantiasa mengamati segala sesuatu. Dipertahankannya dunia dalam adanya yang berlangsung mendukung aktifitas Allah sebagai pencipta yang berlangsung terus tiada hentinya. Oleh karena pengamatan Allahlah, maka pohon-pohon, gunung-gunung, batu-batu, dan lain-lainnya berada secara terus-menerus seperti didugakan oleh akal sehat. Bagi Berkeley, keyakinan ini adalah suatu bukti yang kuat tentang adanya Allah. Seolah-olah Allah diminta pertolongannya untuk menyelamatkan kenyataan dunia ini.
3.      KESIMPULAN
Pemikiran filosofis Berkeley sangat kompleks dan rumit, sehingga sulit dipahami. Sebagai salah satu filosof Empirisme,filsafat Berkeley sangat paradoks karena idealistik. Jadi, tak heran lagi jika Berkeley dianggap sebagai Filosof Empiris, sekaligus Idealis. Pandangan idealistik ini yang menjadi pondasi bagi penafian Berkeley terhadap materi; disebut sebagai penganut immaterialisme.
Walaupun filsafat Berkeley terkesan paradoks, tapi sesungguhnya dia mencoba untuk konsisten pada keyakinan terhada Tuhan. Sebagai seorang uskup Irlandia, Berkeley terlihat menjadikan pandangan-pandangan filosofisnya sebagai landasan ontologis bagi eksistensi Tuhan. Bahkan, Berkeley berupaya untuk membangun argumentasi logis dalam penempatan Tuhan dalam posisi tertinggi dalam Filsafatnya. Hal itu berimplikasi pada pandangan Berkeley dalam mempersepsi realitas. Setidaknya ini merupakan langkah yang patut diapresiasi, daripada sekadar percaya kepada Tuhan tanpa alasan logis yang rasional.
Kesulitan pemakalah dalam memahami filsafat Berkeley, justru semakin meningkatkan semangat untuk menggali pemikirannya lebih mendalam. Berkeley adalah salah satu potret filosof modern yang religius. Tidak hanya karena sebagai Uskup, tapi juga karena pandangan filosofis Berkeley mengafirmasi doktrin-doktrin agama. Semoga akan lahir Berkeley lainnya pada konteks kekinian.


No comments:

Post a Comment